Guru Mati Gaya

Mati gaya adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki kesanggupan untuk berbuat, kehabisan ide atau akal, tidak berkutik dan sebagainya. Istilah mati gaya dalam bahasa Indonesia merupakan gaya bahasa pergaulan yang berkembang di masyarakat sehingga belum masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia resmi.

Mati gaya dapat dikatakan sebuah kata majemuk karena memiliki arti baru yang berasal dari gabungan dua kata yang masing-masing kata memiliki arti berbeda. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, mati memiliki arti tidak bernyawa; tidak hidup dan sebagainya. Sedangkan gaya memiliki arti kesanggupan untuk berbuat dan sebagainya; kekuatan. Kata mati gaya tidak menonjolkan arti tiap kata, tetapi membentuk suatu makna atau arti baru yaitu tidak memiliki kesanggupan untuk berbuat sesuatu.

Guru merupakan garda terdepan dalam dunia pendidikan. Baik dan buruknya pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas guru. Begitu vitalnya keberadaan guru membuat Kaisar Jepang lebih memprihatinkan kekurangan guru dibandingkan yang lain pasca tragedi bom Hiroshima dan Nagasaki pada 1945.Guru merupakan poros utama dalam pendidikan di sekolah yang belum bisa tergantikan oleh siapapun dan apapun. Dia memainkan peran terpenting dalam mengajar, melatih, dan mendidik calon generasi masa depan bangsa.

Mengapa para guru bisa mengalami mati gaya? Ada beberapa faktor yang menyebabkan mereka mati gaya. Pertama, para guru mati gaya karena terserang ‘virus hoream mikir’. Sindroma ini tidak kalah bahayanya dengan virus flu burung ataupun flu babi. Kalau virus flu burung dan flu babi menyerang fisik manusia, virus hoream mikir ini menjangkiti mindset dan mental guru.

Ciri utama guru yang terserang virus ini digambarkan dari ketidakberaniannya untuk berubah dalam mengelola pembelajarannya di kelas. Sejak mereka menasbihkan dirinya sebagai guru, hingga telah bertahun-tahun bergelut dengan profesi keguruannya mereka tetap setia menggunakan metode dan pendekatan yang sama dalam proses pembelajaran walaupun masa atau zaman telah berganti-ganti. Dulu, saat pertama mengajar mereka menggunakan metode ceramah, sekarang pun metode itu masih digunakan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Mereka tetap setia pada kebiasaan masa lalu yang kurang efektif dan kurang sesuai dengan tuntutan zaman.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan