Bernostalgia di Sisa-Sisa Kejayaan Sinetron Legendaris ”Si Doel Anak Sekolahan”

Warung dan opelet memang tak ada lagi. Tapi, di bagian belakang rumah Babeh Sabeni masih banyak jejak Si Doel Anak Sekolahan yang tersisa. Masih laris jadi sasaran orang berswafoto, termasuk yang datang dari luar Jawa.

FOLLY AKBAR, Jakarta


TAK ada lagi Warung Mak Nyak. Tempat si opelet tua biasa diparkir. Tempat Mandra dan Karyo biasa beradu mulut tiap pagi sebelum narik.

Kini berganti jadi saung kecil. Rumah Babeh Sabeni (Benyamin S.) pun telah berubah. Sebagian telah rata dengan tanah. Sisanya direnovasi dan digabung dengan rumah kontrakan Karyo di sebelahnya.

Halaman rumah yang dulu terlihat luas dengan banyak pohon yang tertanam di depannya juga berganti wajah. Kini kondisinya jauh lebih sempit. Namun, masih cukup rindang meski latar telah berganti batako dari semula tanah.

Bahkan, bagi mereka yang besar bersama Si Doel Anak Sekolahan, berbagai perubahan itu bakal membuat setting utama sinetron legendaris tersebut sulit dikenali. Kamis lalu (7/6) itu informasi warga sekitarlah yang akhirnya meyakinkan Jawa Pos bahwa benar itulah rumah keluarga Babeh Sabeni.

”Rumah ini diwariskan almarhum mertua saya,” kata Maya, yang meninggali rumah itu sekarang bersama sang suami, Rachmat Hidayat, dan kedua anak mereka.

Mertua Maya adalah almarhum Muhammad Ishak atau yang akrab disapa Haji Tatung. Nama Haji Tatung tidaklah asing bagi penggemar fanatik Si Doel. Sebab, nama Haji Tatung-lah yang disebut-sebut Babeh Sabeni saat mengumumkan Si Doel lulus jadi ”tukang” insinyur sambil berlari-lari kegirangan.

Di lokasi yang terletak di Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Haji Nudin Nomor 17A, RT 07, RW 08, itulah dulu pengambilan gambar Si Doel Anak Sekolahan dilakukan. Mulai tayang pada 1994, sinetron tersebut bertahan sampai tujuh musim. Terentang dalam 162 episode.

Sinetron yang disutradarai dan dibintangi Rano Karno itu diadaptasi dari novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo. Juga, mengutip Wikipedia, dari versi layar lebar karya Sjumandjaja dengan judul sama yang dirilis pada 1972.

Sinetron itu melejitkan nama banyak pemerannya. Di antaranya, Mandra dan Basuki alias Karyo si pedagang batik. Mereka berteman, tapi juga berseteru. Perseteruan mereka yang selalu mengundang tawa yang biasanya paling ditunggu penonton.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan