Pemandu Museum Alquran Kangen Bahasa Cirebon

Selama memandu, Amir sangat lancar. Lantang. Termasuk ketika menjawab pertanyaan pengunjung. Dia bahagia bisa ikut mengajak jamaah lebih mengenal Alquran dan sejarahnya. Namun, karena berasal dari Cirebon, Amir selalu bertanya ketika awal memandu, apakah ada jamaah yang berasal dari Cirebon.

Amir bersama orangtua tinggal di Kampung Kegiren, Kalibaru Utara, Kejaksan, Kota Cirebon. Sudah enam tahun dia Madinah. Mulai kuliah sarjana jurusan hadis di kampus yang sama dengan pascasarjana. Sekaligus berencana langsung meneruskan ke program doktor setelah lulus. ”Baca Alquran. Kenali Alquran. Amalkan Alquran. Itu pesan Nabi Muhammad SAW. Tak seperti sekarang, banyak sekadar punya,” ucap lulusan SDN 2 Kebon Baru, Kota Cirebon dan SMA Islam Al Irsyad, Semarang ini, Sabtu (23/9).

Pemuda kelahiran Dili, 7 Juli 1992 itu sering kangen kampung halaman. Apalagi, pernah dua tahun tak pulang. Ketika libur kuliah empat bulan pun sering dipakai memenuhi panggilan Pemerintah Saudi jadi penerjemah di museum. Belum lama ini dia bersyukur bisa menghabiskan waktu dua minggu di Cirebon. ‘’Bahasa Cirebon itu yang bikin kangen,’’ seloroh pria jangkung ini.

Amir memilih meneruskan studi ke Madinah karena satu alasan. Biaya pendidikan murah. Sampai tiket pun ditanggung pemerintah. ”Subhanallah. Di sini gratis biaya kuliah. Alhamdulillah. Sesuai passion juga,’’ ucap dia.

Di Museum Alquran banyak koleksi dipamerkan. Di antaranya, Alquran pertama yang ditulis di zaman Sahabat Utsman Bin Affan meski duplikat. Koleksi aslinya disimpan di Museum Topkapi, Turki. Ada juga tulisan Alquran bertinta emas buatan 700 tahun lalu.

Alquran terbesar ditulis 200 tahun lalu dibawa dari Afghanistan. Dengan berat 154 kilogram. Panjang 143 sentimeter dan lebar 80 sentimeter. Berisi 850 lembar. Ditunjukkan pula pojok praktik menulis Alquran yang diperagakan ahli.

”Manfaatnya banyak (pemandu berbahasa Indonesia). Jadi kita banyak tahu tentang Alquran. Dari awal diturunkan, masa sahabat nabi sampai para penerusnya. Dan lihat langsung fisiknya,’’ kata Zam Zam Ishomi, 28, salah seorang pengunjung museum asal Sayung, Demak, Kamis (21/9).

Selain berkunjung, Zam Zam terkadang membantu memandu dadakan bagi jamaah yang membutuhkan, saat pemandu resmi museum tak ada. Sehari-hari dia kuliah di Universitas Al Azhar Mesir.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan