Kir Swasta Mulai Pertengahan Mei

Sekretaris Jenderal Kemenhub Sugihardjo mengungkapkan mereka tidak bisa memberikan sanksi administrasi pada pemilik bus tersebut. Seperti pembekuan atau pencabutan izin. Lantaran armada bus dan perusahaan pemiliknya tidak terdaftar alias ilegal.

’’Untuk itu akan kita teruskan sanksi pidana dalam waktu dekat. Mungkin satu atau dua hari ini,’’ ujar Sugihardjo di kantor Kemenhub kemarin. Kemenhub akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Mabes Polri untuk pelaporan pidana tersebut. Sebab, lokasi kecelakaan berada di Cianjur, Jawa Barat. Sedangkan bus tersebut berpelat nomor B yang artinya masuk wilayah Jakarta.

’’Pak Direktur Angkutan dan Multimoda akan membuat laporan kepada kepolisian untuk ditindaklanjuti proses pidananya supaya ada efek jera,’’ imbuh dia. Aturan yang akan disangkakan adalah pasal 315 Undang-undang 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.  Dalam pasal tersebut pengurus perusahaan angkutan umum bisa dikenakan pidana. Selain itu juga bisa dijatuhkan denda paling banyak tiga kali lipat.

’’Tindak pidananya tidak disebutkan. Nanti kami konsultasikan dengan kepolisian,’’ imbuh Direktur Angkutan dan Multimoda Dirjen Hubdar Kemenhub Cucu Mulyana. Selain itu, kemenhub juga akan menggelar razia kendaraan di tempat-tempat pariwisata. Mereka akan bekerja sama dengan kepolisian untuk merazia kendaraan tersebut dari sisi kelayakan jalan. Selain itu juga dicek izin operasional armada tersebut.

’’Bila hanya administrasi akan ditilang STNK atau BPKBnya. Tapi, kalau sudah tidak layak jalan tidak boleh melanjutkan,’’ tegas Cucu. Perusahaan wajib menyediakan bus pengganti bagi penumpang bus yang tak boleh jalan.

Sementara itu, Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty menuturkan, peluang layanan publik diswawstakan masih cukup besar. ’’Mau diswastakan, kalau memang berdampak lebih baik, mengapa tidak,’’ ujarnya saat dikonfirmasi kemarin. Yang terpenting, efisiensi layanan publik tidak malah jadi terganggu, dan biaya yang ditanggung publik tidak membengkak.

Kemudian, dalam penunjukan swasta yang akan mengambil alih layanan publik, harus fair. Tidak boleh ada monopoli, terbuka, dan tidak ada kolusi di dalam penunjukan. Jangan sampai ada konflik kepentingan.

Lely menuturkan, umumnya ada dua hal yang menjadi alasan layanan publik diswastakan. Pertama, pengakuan dari pemerintah atas ketidakmapuan mengelola layanan publik. ’’Kedua, bila pemerintah yang emnangani layanan publik itu, biayanya akan menjadi besar,’’ lanjutnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan