Sentuh Fisik Kota dan Mental Warga

bandungekspres.co.id – SEBAGAI Wali Kota Bandung berlatar belakang arsitek, Ridwan Kamil punya catatan tentang kondisi being urban atau hidup di perkotaan. Hal ini perlu dipahami, agar kotanya bisa maju, hidup dan berkembang.

worldcultureforumbaliPria yang baru saja menginjak usia 45 tahun pada 5 Oktober lalu ini menyampaikan, menerima being urban dimulai dari pertama, keadaan anonymity. Harus disadari bahwa di perkotaan itu, warganya lebih banyak tidak mengenal satu sama lain. Apakah dia musisi, atau warga biasa, pejabat, atau apapun itu. Masing-masing disibukkan dengan urusan dan pekerjaan.

Kedua, kata Emil, masyarakat heterogen. Datang dari berbagai latar belakang. Baik sosial, agama, ekonomi, maupun budaya. Artinya, homogenitas akan sulit diterima. Jika keadaan dipaksakan homogen, biasanya berakhir tidak baik. Ketiga, bahwa dalam being urban punya kepadatan populasi penduduk atau density yang tinggi. Kelima adalah intensity atau hiruk pikuk kegiatan masyarakat yang kian cepat.

’’Kamu harus menerima anonymity. Menerima heterogenitas. Jadi orang yang punya problem di urban, maka tidak bisa menerima heterogonitas. Tidak menerima density. Itulah kenapa masyarakat kota lebih merasakan stres,’’ ungkap dia.

Melihat realita being urban, Emil merasa harus memahami. Sekaligus mencari cara dalam membangun Kota Bandung dengan menyentuh fisik kota dan mental warga. Sebab, Bandung, merupakan tempat bertemunya manusia dari berbagai latar belakang dan budaya sejak dulu atau melting pot. Kotanya anak muda. Dengan banyak perguruan tinggi ada di Bandung. Maka, dalam membangun fisik dan mental kota harus berpadu dengan nilai kearifan lokal Bandung. Dibarengi mengolaborasikan berbagai potensi bagi kemajuan kota.

Potensi itu di antaranya, jumlah penduduk 2,4 juta. Sebanyak 60 persen di bawah usia 40 tahun. Memiliki bentang alam yang indah dan sejuk karena pegunungan. Punya banyak gedung heritage dengan arsitektur artdeco. Sebanyak 55 persen kegiatan ekonomi adalah usaha kecil, mikro dan menengah. Rumah industri kreatif bagi Indonesia. ’’Potensi kota yang kami punya ini harus dioptimalkan pembangunanya dengan nilai luhur Kesundaan,’’ papar dia.

Emil menambahkan, mencari cara membangun Kota Bandung itu dituangkan dalam sejumlah program di masa kepemimpinannya tiga tahun terakhir. Dikemas dalam berbagai hal dan berbasis komunitas. Dengan begitu, tidak semua kegiatan selalu datang dari pemerintah. Tak sedikit lahir dari komunitas dan biayanya diatasi oleh mereka. Salah satu hasilnya adalah warga Kota Bandung adalah masyarakat paling bahagia di Indonesia berdasarkan hasil survei.  ’’Ketika kamu membangun kota tanpa manusianya, maka kota itu akan jauh,’’ terang dia. (hen)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan