Di Barak, Pram Mendongengkan Novel-novelnya

Menyusuri Jejak Sejarah Pramoedya Ananta Toer dan Eks Tapol di Pulau Buru (1)

Sebagai tempat pembuangan para tahanan politik pada era Presiden Soeharto, Pulau Buru terkesan eksotis. Seperti apa sebenarnya pulau yang pernah melahirkan serial novel tetralogi Pulau Buru karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer itu? Berikut catatan wartawan Jawa Pos DIAR CANDRA yang pekan lalu mengunjungi pulau tersebut.

KAPAL motor penyeberangan (KMP) Wayangan yang saya tumpangi bersama eks tahanan politik (tapol) Pulau Buru Tumiso ”berteriak” keras ketika hendak merapat ke Dermaga Namlea, ibu kota Pulau Buru, Maluku, Kamis (6/10). Kapal yang membawa lebih dari 300 penumpang itu mengeluarkan pekikan yang tak henti-henti dan membangunkan para penumpang yang terlelap sepanjang malam Sesaat kemudian, dari pengeras suara di kabin diumumkan bahwa kapal sudah sampai di tujuan dan para penumpang dipersilakan turun. Saya melihat jam digital tepat pukul 04.00 WIT (Waktu Indonesia Timur). Berarti, perjalanan dari Dermaga Galala Ambon hingga Namlea menempuh waktu delapan jam. Sebab, saat berangkat, jarum jam menunjuk pukul 20.00, Rabu (5/10).

”Ayo, turun. Kita sudah ditunggu keluarga Pak Kabul,” ajak Tumiso. Sebenarnya saya masih agak malas beranjak dari tempat tidur busa yang saya tiduri. Apalagi, di luar langit masih gelap.

Benar saja, begitu kami berjalan ke pintu keluar dermaga, seorang pemuda kurus memanggil nama Tumiso. Dengan senyum ramah, dia menjabat tangan saya dan Tumiso. Kami kemudian dibawa ke mobilnya di parkiran dermaga.

Pemuda itu memperkenalkan diri sebagai Maryudi, anak kedelapan Kabul. Kabul bukan eks tapol seperti halnya Tumiso. Dia adalah transmigran asal Banyuwangi, Jawa Timur, yang datang ke Pulau Buru pada gelombang pertama, sekitar 1980.

”Ketika saya tiba di Namlea pada Agustus 1969, pelabuhannya belum sebagus dan sekukuh ini. Dulu kayu-kayu pelabuhan ini masih reyot,” kenang Tumiso.

Ya, Tumiso adalah bagian dari sejarah suram Pulau Buru pada 47 tahun lalu. Bersama 12 ribu tapol lainnya, pria 77 tahun tersebut menjalani kerja paksa di pulau yang dikelilingi Laut Banda itu (baca Jawa Pos, 14 September 2016: Kisah Tumiso, Eks Tapol Pulau Buru yang Menyelamatkan Naskah-Naskah Karya Pramoedya).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan