Di Barak, Pram Mendongengkan Novel-novelnya

Dari Namlea, Yudi -panggilan Maryudi- langsung membawa kami ke pedalaman Pulau Buru yang menjadi jantung lokasi kerja para tapol dulu. Jarak Namlea ke Mako (Markas Komando) Waeapo sekitar 36 kilometer.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhi jalur yang berkelok-kelok. Banyak tikungan tajam dan tanpa penerangan jalan umum. Kalau bukan orang yang terbiasa mengendarai mobil di Namlea, bisa-bisa tersesat atau mengalami kecelakaan. Perjalanan Namlea-Waeapo kami tempuh selama 45 menit.

Dalam memori Tumiso, ketika mendarat di Pulau Buru pada Agustus 1969, para tapol sudah ditunggu barisan truk militer. Sebelum dikirim ke lokasi kerja paksa di Waeapo, mereka ditempatkan sementara (transit) di Ciku Kecil, kira-kira 4 kilometer dari Pelabuhan Namlea.

”Kami di Ciku Kecil selama 3-4 pekan. Setelah itu, kami disebar ke unit-unit dengan menggunakan perahu milik Marinir,” ungkap Tumiso yang kini tinggal di Panti Jompo eks tapol di Jakarta.

Akhir 1960-an, jalur sungai menjadi nadi utama transportasi di Pulau Buru. Nanti para tapol-lah yang membabat alas untuk membuat jalur jalan di pulau terbesar ketiga di Maluku itu.

Selama dalam perjalanan, Tumiso terus nyerocos bercerita secara detail lokasi-lokasi bersejarah bagi para tapol kala itu. Menurut dia, gelombang pertama tapol yang tiba di Pulau Buru sekitar 500 orang. Termasuk Pramoedya Ananta Toer yang diasingkan mulai Agustus 1969 hingga 12 November 1979.

Mereka tidak langsung ditempatkan di Mako Waeapo, melainkan diturunkan di Unit III Wanayasa (sekarang masuk wilayah Waeleman) yang berjarak 4 kilometer dari Mako Waeapo. Di Unit III itulah kemudian dibangun barak pertama untuk tempat tinggal para tapol.

”Saat kami tiba di Unit III, yang pantas disebut barak cuma dua buah. Tiga lainnya masih berupa kerangka karena tidak ada dindingnya,” ucap Tumiso.

Karena itu, sepekan pertama di Unit III, 500 tapol gelombang pertama diminta merampungkan barak berukuran 30 x 5 meter tersebut. Namun, jangan dibayangkan bahan-bahannya sudah tersedia. Peralatan seperti paku, palu, gergaji, maupun alat-alat pertukangan lainnya tidak disediakan. Para tapol pun disuruh bekerja dengan tangan kosong.

Pram, panggilan Pramoedya Ananta Toer, termasuk yang ikut menyingsingkan lengan baju membangun barak para tapol itu. Pram berada di Unit III pada periode 1969-1972. Dia kemudian dipindah ke Mako Waeapo hingga akhir masa pembuangannya pada 1979.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan