Untuk kali pertama, lukisan-lukisan ’’masterpiece’’ koleksi mantan Presiden Soekarno di istana kepresidenan dipamerkan untuk umum. Masyarakat pun menyambut dengan antusias. Kerja keras kurator pameran itu, Mikke Susanto, pun terbayarkan.
PRISKA BIRAHY, Jakarta
”ASLINYA lukisan ini belum jadi. Tapi, Pak Karno tertarik dan beli. Apalagi, beliau sendiri yang jadi modelnya,” ucap Mikke Susanto sambil menunjukkan lukisan Memanah karya Henk Ngantung yang dipamerkan di Galeri Nasional (Galnas) Indonesia, Jakarta, awal Agustus lalu.
Kepada para pengunjung yang ikut tur pameran bertajuk 17:71 Goresan Juang Kemerdekaan, Mikke menyebut lukisan itu merupakan lukisan bersejarah. Lukisan karya mantan gubernur ke-7 DKI Jakarta tersebut menjadi latar belakang acara konferensi pers setelah pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan RI di kediaman Soekarno, 17 Agustus 1945.
Lukisan yang menjadi saksi sejarah itu juga punya cerita lain. Yakni, gambar lengan tangan yang sedang memanah itu ternyata modelnya lengan tangan Bung Karno sendiri. Karena itu, tak heran bila lukisan tersebut termasuk istimewa di mata Sang Putra Fajar, julukan Soekarno.
Mikke menjelaskan, berbagai keterangan yang terkait dengan keberadaan lukisan, sejarah yang melatarbelakangi penciptaannya, hingga cerita dalam lukisan diperoleh melalui riset panjang. Dari riset itu pula, terkuak kisah di balik pembelian lukisan pada 1944, setahun sebelum kemerdekaan, itu.
Menurut Mikke, sejatinya Henk ingin melanjutkan lukisannya yang belum jadi saat pameran yang digelar Keimin Bunka Sidhoso, lembaga kebudayaan bentukan pemerintah kolonial Jepang di Jakarta. Hanya, dia belum menemukan model yang cocok.
”Akhirnya, Bung Karno menawarkan diri menjadi modelnya. Henk pun langsung melanjutkan lukisan dengan model lengan Bung Karno,’’ lanjut dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta yang tengah menempuh S-3 di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Selain misteri lengan sang pemanah, Mikke meneliti objek-objek dalam lukisan koleksi Soekarno. Termasuk wajah sang pemanah di lukisan karya Henk Ngantung itu. Mikke mengakui, tidak mudah mengungkap identitas tokoh dalam lukisan tersebut. Dia sering terkendala teknis di lapangan.
Selain itu, untuk mencari data-data tersebut, Mikke membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit. Apalagi jika jejak lukisan itu harus diburu hingga ke luar negeri. Karena itulah, dia minta permakluman bila bukti yang ada terkait lukisan yang diteliti tak lengkap atau rusak. Itu sudah menjadi risiko pekerjaan dalam proses pelacakan jejak lukisan istana kepresidenan. Belum lagi bila si pelukis sudah meninggal atau sumber-sumber yang mengetahui cerita tentang lukisan tersebut tidak diketahui keberadaannya. Maka, dia harus menelusuri hingga ke rumah keluarga, tetangga, atau siapa pun yang terkait dengan lukisan atau pelukis tersebut.