Dengarkan Suara Rakyat!

Menurut Akbar, gejala itu muncul dari adanya pergantian anggota MKD di saat akhir. Dirinya tidak menyebut nama, namun proses pergantian terakhir di internal MKD adalah Marsiaman Saragih dari PDIP digantikan oleh Riska Mariska. ”Realitasnya ada seorang anggota fraksi terus selancar. Ada yang tadinya mulai lurus dan diganti lagi, karena ada yang kebingungan harus mendengar yang mana,” ujarnya.

Menurut Akbar, dirinya perlu menyampaikan ini karena sidang pada hari ini merupakan pertaruhan terhadap DPR. Akbar meminta kepada masyarakat agar terus mengawasi MKD, terutama memastikan siapa saja dan apa isi keputusan akhir yang diambil masing-masing anggota dalam rapat internal.   ”Supaya anda tahu wakil seperti apa yang anda pilih termasuk dapilnya. Makanya saya bilang, jaga teman-teman anda di fraksi,” ujarnya.

Kecurigaan terhadap posisi PDIP itu ditepis oleh anggota MKD dari fraksi PDIP Muhammad Prakosa. Mantan Ketua Badan Kehormatan DPR (nama lama MKD, Red) itu belum bersedia menyatakan apa putusannya terhadap Novanto. Namun, dirinya berjanji akan objektif terhadap fakta persidangan yang ada.   ”Kalau (dianggap) masuk angin tidak ada. Yang ada bahwa semua anggota MKD mempunyai pendapat berdasarkan fakta persidangan ditambah bukti-bukti yang ada,” ujar Prakosa.

Menurut Prakosa, dirinya tidak mau mendahului proses di rapat internal. Meski ada anggota MKD yang secara terbuka sudah menyatakan ada pelanggaran yang dilakukan Novanto, Prakosa memilih akan menyimpan pandangannya sampai proses resmi. ”Ya besok (hari ini, Red) saya sampaikan, tidak bisa disampaikan sekarang,” ujarnya.

Namun, kata Prakosa, dalam kaitan seorang anggota DPR pernah dijatuhi sanksi ringan, seperti Novanto, maka jika nantinya dinyatakan melanggar etik, tidak mungkin lagi dijatuhi sanksi yang sama. Dia merujuk pada pasal 20 ayat 3 peraturan DPR nomor 1 tahun 2015 tentang kode etik anggota dewan. Karena itu, sanksi teringan setelah sanksi ringan adalah sanksi sedang, yang berujung pada pencopotan anggota DPR dari jabatan di pimpinan DPR, komisi, atau alat kelengkapan lain. ”Analoginya seseorang yang pernah dapat kasus sanksi ringan, kemudian ada pelanggaran lagi di kasus ringan itu menjadi tidak ringan,” ujarnya menegaskan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan