Di Balik Gunung Es HIV Bandung: Luka Psikologis, Stigma, dan Asa yang Tak Pernah Padam

Ilustrasi: Seorang anak melihat mural bertemakan hiv aids di bawah Jembatan Layang Prof Mochtar Kusumaatmadja,
Ilustrasi: Seorang anak melihat mural bertemakan hiv aids di bawah Jembatan Layang Prof Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Rabu (29/10). Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Psikolog UPI, Maslihah, menilai bahwa fenomena “gunung es” HIV/AIDS di Kota Bandung tidak bisa dipisahkan dari faktor perilaku berisiko yang berakar pada persoalan psikososial dan rendahnya literasi kesehatan reproduksi.

Menurutnya, banyak individu muda yang terlibat dalam perilaku berisiko bukan semata karena kurangnya moralitas, melainkan karena minimnya pengetahuan, lemahnya kontrol diri, serta tekanan sosial dan ekonomi.

“Ada yang melakukannya karena rasa ingin tahu, ada yang karena tekanan pergaulan, bahkan ada yang karena faktor ekonomi dan kesepian. Kalau kita hanya fokus pada perilaku tanpa memahami akar psikologisnya, maka penanganannya tidak akan menyentuh akar masalah,” ujar Maslihah saat dihubungi, Rabu (29/10).

Baca Juga:Gunung Es HIV/AIDS di Bandung: Farhan Sebut Kasus Riil Bisa Capai 70 Ribu OrangKPA Kota Banjar Catat 376 Kasus HIV/AIDS, Kelompok LSL Paling Rentan

Ia menambahkan, usia produktif terutama 20 hingga 35 tahun, menjadi kelompok paling rentan, sebab mereka aktif secara sosial, banyak berinteraksi, dan kadang berada di lingkungan yang permisif terhadap perilaku berisiko.

Lebih jauh, Maslihah menyoroti stigma sosial sebagai “tembok besar” yang membuat banyak orang enggan memeriksakan diri.

“Ketakutan terbesar mereka bukan pada penyakitnya, tapi pada stigma masyarakat. Mereka takut dijauhi, takut tidak diterima keluarga, dan takut kehilangan pekerjaan. Padahal stigma inilah yang membuat kasus HIV/AIDS sulit terdeteksi dan akhirnya terus menular diam-diam,” jelasnya.

Dari sisi psikologi kesehatan masyarakat, Maslihah menilai pendekatan edukasi yang empatik dan humanis harus diperkuat, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa.

“Edukasi tentang HIV/AIDS jangan hanya lewat ceramah formal. Gunakan media sosial, pendekatan peer group, bahkan kegiatan kampus yang interaktif. Anak muda lebih mudah menerima pesan dari teman sebaya yang mereka percayai,” tambahnya.

Selain itu, Maslihah menegaskan perlunya dukungan psikososial bagi ODHA agar mereka tidak terpuruk secara mental.

“Konseling dan pendampingan penting agar mereka tetap punya semangat hidup, disiplin minum obat, dan tidak menarik diri dari lingkungan sosial. Mereka butuh dirangkul, bukan dihakimi,” katanya.

Baca Juga:Kenaikan Tajam Kasus HIV 2025 Bikin Indonesia Masuk Zona Merah Darurat Kesehatan NasionalUsai Penggerebekan di Megamendung, Pemkab Bogor Siapkan Langkah Intervensi Atasi HIV

Sementara itu, “Rian” (nama samaran, 30 tahun), seorang warga Bandung yang telah tiga tahun hidup dengan HIV, mengaku sempat mengalami masa-masa kelam setelah mengetahui statusnya.

0 Komentar