Coet Tradisional dari Kampung Pojok, Sisa Napas Warisan yang Hampir Punah

Coet Tradisional dari Kampung Pojok, Sisa Napas Warisan yang Hampir Punah
Acep, pengrajin muda asal Kampung Pojok, Padalarang, tengah memahat batu andesit menjadi coet tradisional. Dok Jabar Ekspres/Suwitno
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Suara denting palu memecah kesunyian pagi di Kampung Pojok, Desa Jayamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

Di antara tumpukan batu hitam yang bertebaran di halaman rumah-rumah sederhana, tangan-tangan kasar para pengrajin dengan sabar menatah bongkahan batu menjadi coet warisan dapur tradisional yang kini perlahan digerus zaman.

Asap tipis dari batu yang terhempas pahat sesekali menutupi wajah mereka. Peluh menetes dari dahi yang mulai berkerut, menandai perjuangan panjang yang tak hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang mempertahankan tradisi.

Baca Juga:Cerita Siswa dan Guru SDN Cibabat Mandiri 2 Cimahi Lestarikan Permainan Tradisional di Tengah Gempuran GadgetKembangkan Ekosistem Seni dan Budaya, Pemkab Bandung Resmikan Tiga Inovasi Unggulan

Setiap ayunan palu menjadi irama kehidupan, setiap serpihan batu yang beterbangan adalah kisah keteguhan warga Kampung Pojok dalam menjaga warisan leluhur mereka.

Di kampung kecil yang diapit perbukitan batu andesit ini, tradisi membuat coet telah diwariskan turun-temurun selama lebih dari seabad. Tidak ada mesin modern, tidak ada suara gergaji otomatis hanya palu, pahat, dan tenaga manusia yang menjadi saksi bisu ketekunan.

Profesi ini lahir dari tanah, batu, dan kesabaran yang mengakar kuat dalam budaya masyarakat setempat.

Namun, di balik keteguhan itu, ada rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. Seiring waktu, jumlah pengrajin coet terus menurun. Banyak generasi muda yang memilih meninggalkan pekerjaan ini, tergiur oleh pekerjaan pabrik atau sektor formal yang dianggap lebih menjanjikan.

“Sekarang semakin sedikit yang mau jadi tukang coet. Banyak anak muda yang lebih memilih kerja di pabrik setelah lulus sekolah,” ujar Ating (60), salah satu pengrajin senior yang sudah lebih dari setengah abad memahat batu.

Ating mengaku mulai menekuni pekerjaan ini sejak berusia sepuluh tahun. Ia belajar langsung dari ayahnya, yang juga mewarisi keahlian itu dari kakeknya.

“Kalau dihitung, mungkin sejak tahun 1900-an usaha coet ini sudah ada. Dulu hampir setiap rumah di Kampung Pojok bikin coet,” tuturnya.

Baca Juga:Tingkatkan Minat Baca pada Anak, Inilah Strategi DWP Cimahi Bangun Budaya Membaca Lewat Peran KeluargaBanjar Luncurkan Pasar Cerdas, Sentuhan Digital untuk Menghidupkan Kembali Semangat Pasar Tradisional

Dengan alat sederhana berupa pahat berbagai ukuran dan palu besi, Ating bisa membuat dua hingga tiga buah coet dalam sehari, tergantung besar-kecilnya batu. Hasilnya dijual ke pasar tradisional di sekitar Padalarang, atau dibeli tengkulak untuk dijual kembali ke kota.

0 Komentar