JABAR EKSPRES – Heru Hanindyo salah satu hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberikan “vonis bebas” terhadap terpidana pembunuhan, Ronald Tannur minta untuk dibebaskan dari kasus dugaan suap atas pemberian vonis bebas kepada terpidana.
Ia membantah telah menerima uang sebesar Rp1 miliar dan 120 ribu dolar Singapura dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, sesuai dakwaan penuntut umum.
“Jusrru dari fakta persidangan terungkap bahwa saya telah mengingatkan kepada Lisa pada intinya untuk jangan berikan apa pun kepada kami karena ini perkara nyawa dan biarkan kami memutus sesuai fakta persidangan,” ujar Heru saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (29/4).
BACA JUGA: Kejagung Limpahkan Tersangka Rudi Suparmono ke Kejari Jakpus Terkait Kasus Pidana Suap Ronald Tannur
Ia juga merasa bahwa nama dirinya dijual di persidangan oleh terdakwa lainnya, yang juga merupakan hakim yang menangani kasus Ronald Tannur, yakni Erintuah Damanik.
Heru menjelaskan, penjualan nama yang dimaksud itu adalah perihal penunjukan hakim ketua perkara Ronald Tannur yang disebut berdasarkan usulan dirinya dan terdakwa Mangapul.
“Sejatinya hal tersebut tidak pernah terjadi,” tuturnya.
Maka, Heru pun merasa kaget dan kecewa saat mengetahui dari proses persidangan bahwa Namanya telah dipermainkan atau dijual oleh Erintuah kepada Lisa untuk kepentingan pribadi.
BACA JUGA: Kasus Suap Ronald Tannur, Zarof Ricar Akui Beri Uang Rp75 Juta pada Eks Ketua PN Surabaya
Sebelumnya, tiga hakim nonaktif PN Surabaya dituntut pidana penjara selama 9 hingga 12 tahun penjara dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi atas pemberian “vonis bebas” kepada terpidana pembunuhan Ronald Tannur pada tahun 2024.
Selain pidana penjara, ketiga hakim ini dituntut agar dikenakan pidana denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurangan selama 6 bulan.
Ketiga hakim itu dinilai melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama alternatif kedua dan dakwaan kumulatif kedua.