JABAR EKSPRES – Dalam menghadapi kebijakan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump, Indonesia berupaya meningkatkan jumlah impor produk dari AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah Indonesia sedang mengupayakan peningkatan impor sejumlah komoditas strategi dari AS, termasuk minyak, gas alam cair (LNG), serta produk pertanian seperti gandum, kedelai, dan jagung.
Ia juga menyoroti pentingnya produk pertanian asal AS yang mempunyai kontribusi besar terhadap ketahanan pangan Indonesia.
“Produk seperti gandum, kedelai dan jagung merupakan produk pertanian yang jaga dikonsumsi di Indonesia secara cukup signifikan. Kita mengimpor tidak hanya dari Amerika Serikat tetapi juga dari banyak negara lain. Jadi dalam konteks itu, kita selalu dapat membahas bagaimana kita dapat mempersempit kesenjangan dan menempatkan AS pada posisi yang lebih baik untuk menyediakan jenis produk pertanian ini,” ungkap Menkeu.
Ia juga menekankan meskipun Indonesia ini merupakan negara penghasil minyak dan gas, kapasitas produksinya masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Sehingga, pemerintah melihat peluang untuk meningkatkan impor energi, khususnya LNG dari AS.
“Jadi ini semua adalah area di mana kita tentu dapat melakukan outsourcing minyak dan gas dari AS, termasuk produk Boeing dan sebagainya. Ada juga beberapa komoditas serta produk menufaktur di mana kita dapat mempersempit, mengurangi atau bahkan menghilangkan surplus ini,” katanya.
Menurut Menkeu, hambatan perdagangan dan non-perdagangan saat ini menjadi fokus pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia melakukan evaluasi terhadap berbagai hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif untuk menciptakan iklim perdagangan yang lebih terbuka dan efisien.
BACA JUGA: Donald Trump Deklarasikan Kemenangan di Pilpres AS: Kemenangan yang Belum Pernah Ada Sebelumnya
“Di sisi tarif, sebagian besar tarif Indonesia sebenarnya sangat rendah, tetapi kami akan selalu, mengevaluasi dan melihat apakah ada area yang dapat kami tingkatkan di sisi tarif,” tutur Sri Mulyani.
Terkait hambatan non-tarif, Sri Mulyani mengakui Indonesia masih mempunyai sejumlah mekanisme yang kerap menjadi perhatian karena dianggap mencegah perdagangan.