“Mereka cenderung membeli di warung-warung terdekat. Belum terbiasa ke pangkalan. Banyak faktor yang membuat resah masyarakat, pertama pangkalannya jauh. Minimal pangkalannya dekat, di RW itu ada satu pangkalan,” jelasnya.
Ricky tak menampik jika pembatasan akses penjualan elpiji 3 kilogram akan berdampak bagi masyarakat, khususnya di daerah pelosok Bandung Barat, seperti Gununghalu.
Selain harus menempuh jarak yang lebih jauh, ongkos untuk mendapatkan elipiji 3 kilogram juga akan lebih tinggi.
BACA JUGA:Pertamina Tegaskan Pentingnya Pembelian LPG 3 Kg di Pangkalan Resmi
“Saya enggak bisa bayangkan warga di pelosok seperti di Gununghalu. Satu desa hanya dua pangkalan. Misalnya biasanya beli di warung Rp24 ribu, sekarang harus beli ke pangkalan dengan harga Rp20 ribu, tapi menggunakan ojek. Kan itu ada biaya tambahan,” tandasnya.
Terbaru, Presiden Prabowo Subianto melalui Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, pengecer boleh kembali berjualan gas LPG 3 kilogram seperti biasanya.
Namun sambil berjualan, para pengecer akan diproses administrasinya agar menjadi subpangkalan.
Upaya tersebut dilakukan guna menertibkan harga LPG subsidi agar sesuai dengan harga eceran tertinggi (HER) yang ditetapkan pemerintah supaya tidak melonjak harganya.
Menanggapi kebijakan baru tersebut, Ati, pemilik toko kelontongan sekaligus pengecer gas LPG 3 kilogram di Padalarang, Bandung Barat menyambut baik wacana itu.
Ati mengaku siap jika tokonya naik tingkat menjadi sub-pangkalan gas subsidi. Namun seiring dengan kebijakan baru itu, dia berharap pemerintah tak mempersulit segala bentuk dokumen perizinan ke depannya.
“Saya mau dan siap, apalagi gas salah satu yang dibutuhkan oleh ibu rumah tangga. Tapi saya enggak mau dipersulit jika nanti warung saya dijadikan sub-pangkalan,” kata Ati. (Wit)