JABAR EKSPRES – Kelompok pejuang Palestina, Hamas, mengecam kesempatan yang diberikan kepada kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu untuk berpidato di hadapan Kongres AS.
“Netanyahu seharusnya ditangkap sebagai penjahat perang dan diserahkan ke ICC (Pengadilan Kriminal Internasional), bukannya diberi kesempatan untuk memoles citranya di hadapan dunia dan menutupi pembunuhan massal dan pembersihan etnis di Gaza,” kata Hamas dikutip dari Antara, Jumat (26/7/24)
Netanyahu menyampaikan pidato di hadapan Kongres AS pada Rabu (24/7), di mana hampir setengah dari anggota parlemen Demokrat di DPR dan Senat melakukan aksi keluar dari ruangan (walk out) sebagai protes terhadap perang dan kejahatan Israel di Jalur Gaza.
“Pidato Netanyahu mencerminkan kedalaman krisis militer, keamanan, dan internasional yang coba ia tutupi di depan publik dengan membenarkan kekalahan yang diderita oleh tentaranya di Gaza,” ujar Hamas.
BACA JUGA : Rusia dan China Berkompromi Akan Bangun Stasiun Penelitian Bulan Bersama yang Bernama ISLS
Hamas menuduh Netanyahu berupaya mengklaim kemenangan palsu, seperti pembebasan beberapa sandera, sambil mengabaikan “pembantaian mengerikan” yang dilakukan terhadap warga sipil di Rafah dan Nuseirat.
Netanyahu tiba di AS pada Senin (22/7) dan dijadwalkan bertemu dengan Presiden Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris pada Kamis.
Ia juga akan bertemu dengan mantan Presiden Donald Trump di Florida pada Jumat, sebelum kembali ke Israel.
Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang terus berlanjut di Gaza, sejak serangan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.
Hampir 39.200 warga Palestina tewas dan lebih dari 90.400 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Selama sembilan bulan setelah serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah krisis makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasi militernya di Rafah, di Gaza selatan, tempat lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum kota itu diserang pada 6 Mei lalu.