Baju Putih Mahfud MD dan Nasib Anak Manusia

Oleh: Atjep Amri Wahyudi (70)

 

Usai melakukan pendaftaran paslon yang akan maju dalam Pilpres 2024 (19/10/2023) cawapres Mahfud MD dalam sambutannya mengisahkan bahwa baju putih yang dipakainya merupakan baju putih yang ia siapkan untuk mendaftar ke KPU pada 2019. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada detik-detik terakhir batas pendaftaran paslon 2019-2024 Jokowi memutuskan mengganti Mahfud MD dengan Ma’ruf Amin.

Boleh jadi latar belakang penggantian itu adalah karena capres Prabowo Subianto (waktu itu) diberitakan bakal menggandeng UAS alias Ustad Abdullah Somad yang merupakan ulama. Tentu Jokowi memandang perlu menggandeng cawapres dengan latar belakang yang sama. Kalau dalam istilah bola, gawang Mahfud bobol di saat injury time karena gagal meraih kemenangan atau mempertahankan keunggulan di menit-menit akhir pertandingan.

Lima tahun kemudian Mahfud MD kembali ke KPU untuk maksud yang sama. Dan kali ini dia tidak kebobolan lagi di injury time. Hal ini ditandai dengan deklarasi dirinya sebagai pasangan bagi capres Ganjar Pranowo oleh Ketum PDIP.

Essay kali ini tidak membahas Pilpres 2024 dan pernak-pernik yang mengiringinya sekalipun diawali dengan pembahasan terkait busana salah seorang kandidat. Penulis menekankan bahwa benar seperti kata orang bijak bahwa jika sudah rejeki tidak akan kemana. Atau ada lagi yang lebih lugas mengatakan bahwa rejeki tidak akan pernah tertukar.

Jika menilik kisah awal (2019) baju putih Mahfud MD di atas, bahwa “teori rejeki” benar adanya. Terbukti akhirnya (2023) Mahfud diajukan juga sebagai cawapres. Dalam konteks perjalanan hidup anak manusia figur Mahfud MD bisa diganti siapapun dan posisi apapun. Kuncinya cuma satu : bersabar. Sabar dalam hal apa atau bagaimana? Jawabannya mungkin terlalu klasik : sabar menanti! Sampai kapan? Nah pertanyaan terakhir ini yang susah dijawab karena terkait dengan waktu. Dan bicara tentang waktu tentu hanya Tuhan yang tahu.

Penulis mencoba mendiskripsikan pengertian sabar dalam beberapa versi. Yang pertama sabar versi para Nabi dan Rasul. Tentu ini merupakan tingkat kesabaran paling tinggi karena mereka tahu dengan pasti bahwa perjuangannya akan berakhir dengan kemenangan berkat  “pengawalan” langsung dari Tuhan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan