JABAR EKSPRES – KPK baru-baru ini mengungkap kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan penerima bantuan sosial (bansos). Dengan cara mencatut nama mereka sebagai pemilik atau komisaris perusahaan.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkapkan temuan TPPU yang di duga melibatkan penerima bansos ini awalnya ia membahas mengenai pegawai negeri sipil (ASN) dan warga dengan penghasilan di atas upah minimum yang masih menerima bansos dari pemerintah.
Menurutnya, ada sekitar 23 ribu ASN yang masih menerima bansos. Dengan potensi kerugian mencapai sekitar Rp 140 miliar per bulan dari dana yang di salurkan kepada mereka yang di duga tidak memenuhi syarat.
Lihat juga : MUI Menolak Usulan BNPT tentang Kontrol Pemerintah terhadap Rumah Ibadah
“Jadi persoalan tadi ada beberapa ribu dengan potensi kerugian Rp 140-an miliar per bulan dari dana yang di salurkan ke mereka yang di duga tidak berhak,” ungkap Alexander di gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (5/9/23).
Alexander kemudian mencatat adanya data penerima bansos yang sebenarnya merupakan pemilik perusahaan.
Dia mengklaim bahwa nama-nama penerima bansos ini tampaknya telah di salah gunakan.
“Dalam hal pengurus perusahaan, ketika kami memeriksa di lapangan, ternyata orang-orang ini hanya berperan sebagai cleaning service atau ART. Dengan kata lain, meskipun mereka dalam situasi ekonomi yang sulit. Namun nama mereka di gunakan untuk mencatut sebagai komisaris atau pengurus perusahaan,” jelas Alexander.
Ia menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari modus tindak pidana pencucian uang. KPK sedang menyelidiki kasus pencucian uang yang di duga melibatkan nama-nama penerima bansos tersebut.
Selain itu, KPK juga mengingatkan para kepala daerah untuk tidak bersaing dalam mencantumkan warganya sebagai penerima bansos. Menurut Alexander, jumlah besar penerima bansos justru mencerminkan kegagalan kepala daerah dalam menjalankan tugas mereka.
Lihat juga : Menkominfo Bakal Angkat Wulan Guritno jadi Duta Anti Judi Online?
“Jadi, tujuan bukanlah sebanyak mungkin mengajukan data penduduk sebagai penerima bansos, terutama menjelang tahun politik. Ini adalah tindakan konyol. Saya ingin mengatakan bahwa semakin banyak penduduk suatu daerah yang menerima bansos, itu menunjukkan kepala daerahnya gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin,” katanya.