JABAR EKSPRES – Cut Nyak Dhien merupakan salah satu pahlawan wanita nasional yang harus merasakan hidup di pengasingan yang jauh dari tanah kelahirannya. Belanda mengasingkannya pada tahun 1906 ke Sumedang, Jawa Barat menggunakan kapal laut.
Beliau diasingkan dari Lampadang, Aceh ke Sumedang, Jawa Barat pada usia 58 tahun. Tidak ada warga Sumedang yang menyadari bahwasanya wanita paruh baya tersebut adalah pejuang tangguh nan terkenal dari tanah rencong, Aceh.
Gubernur Militer Belanda, Joannes Benedictus van Heutz merahasiakan indentitas dari Cut Nyak Dhien karena takut kehadirannya membawa api perjuangan kepada masyarakat Sumedang.
Rahasia Joannes Benedictus van Heutzini akhirnya diketahui oleh Bupati Sumedang saat itu, yaitu Pangeran Suriaatmaja. Sosok pemimpin yang biasa disebut Pangeran Makkah ini menyadari bahwa Cut Nyak Dhien bukanlah sosok yang biasa.
Pangeran Suriaatmaja menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan sosok yang berpengaruh di tempat sebelumnya setelah datang ke Sumedang dengan pakaian lusuh dan para tapol Aceh menemani pejuang wanita Aceh ini.
Baca juga: Masjid-Masjid Ini Memiliki Kapasitas Jamaah Terbesar Di Dunia, Ada Indonesia Coy!
Pangeran Suriaatmaja merupakan sosok pemimpin yang sederhana, memiliki pengaruh yang kuat dan taat dalam keshalihannya. Dia mengambil alih perawatan dan pengamanan hidup pejuang wanita asal Aceh ini selama di Sumedang karena tidak tega melihat sosok pejuang wanita Aceh yang dihormati ini harus hidup dalam penjara bersama tahanan politik lainnya di akhir hayatnya.
Selama pengasingan, pahlawan wanita ini beraktivitas untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk setempat. Warga memanggil dirinya dengan Ibu suci, Ibu Perbu, dan Ibu Ratu.
Cut Nyak Dhien hidup selama 2 tahun di Sumedang dengan tinggal di sebuah rumah milik pemuka agama setempat bernama Haji Ilyas. Hal ini dilakukan atas perintah Pangeran Suriaatmaja.
Lokasi rumah yang ditempati oleh pejuang wanita Aceh ini berada di Kampung Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Rumah ini diwariskan secara turun temurun.
Rumah itu bukan hanya menjadi tempat tinggal, namun sudah menjadi cagar budaya. Sesuai dengan perkembangan zaman, rumah ini telah mengalamu beberapa perubahan. Akan tetapi, pada tahun 2009 rumah tersebut dikembalikan ke bentuk semula.