Hidup Fanatisme

 

EVMF

“Peristiwa besar selalu melahirkan pemikiran besar. Bukan mematikan harapan besar.” Ironisnya seringkali “pemikiran besar” itu Tidak Selalu memberikan “harapan besar” ketika kepentingan-kepentingan lain melebihi “peristiwa besar” itu sendiri !! Kalau Harapan Besar itu baru “borojol” setelah didahului Peristiwa Besar, maka kita akan menyaksikan lebih banyak tragedi di waktu yang akan datang. Mestikah tragedi demi tragedi, baru melahirkan Pemikiran Besar untuk menjadikannya Harapan Besar !! Harapan Besar itu bukanlah emosional atau selebrasi sebatas tekad. Harapan Besar itu bukan anak-nya pemikiran besar, ataupun cucu-nya peristiwa besar !! Harapan Besar itu adalah cara berpikir atau proses yang ter-rencana untuk sesuatu yang lebih baik, terlepas ada atau tiadanya peristiwa yang mendahuluinya. “Hope is not an emotion; it’s a way of thinking or a cognitive process.” — Brené Brown

 

Er Gham

Saya suka Messi. Mau menang mau kalah, mukanya tetap dingin. Senyum seperlunya. Mungkin dia tidak peduli. Dalam hati, dia berbisik, “Yang penting, saya berkeringat. Badan segar. Saya sudah terhibur dengan menyalurkan hobi ini. Nanti malam bisa tidur nyenyak karena badan segar. Persetan dengan kalah menang”.

 

Saifudin Rohmaqèŕqqqààt

Tragedi tanpa korban. Tidak ada yang ngamuk walau tim kesayangan kalah telak. Polisi pun santai santai saja mengamankan pertandingan. Bahkan sambil ngemut permen nano nano bercanda dengan teman polisi lainnya. Jaga pertandingan sangat santai. Dan itu nyata. Itu benar benar terjadi. Hari itu tanggal 21 pebruari 1988. Stadion gelora 10 Nopember tidak penuh seperti biasanya. Ada yg lucu kalau mau tahu. Apa itu? Karena sore itu cuaca panas. Banyak penonton lebih menikmati jajan daripada menikmati sepak bolanya. He he he… sekali lagi, itu nyata. Tapi seluruh insan sepak bola menyebutnya tragedi. Iya tragedi. Persebaya waktu itu sedang ampuh ampuhnya. Pemain top seperti putu yasa, mustaqim,syamsul arifin,subangkit. Sore itu jagad indonesia kaget. Suporter PSIS pun sampai menitikkan air mata. Ada tragedi tanpa korban jiwa. Tidak seperti di Kanjuruhan Malang. Apa tragedinya. Persebaya kalah 12-0 dari persipura. Tak satupun bonek ngamuk. Yang ada malah sebaliknya. Tersenyum sedikit. Aneh tapi nyata… Dan anehnya, yang bersedih malah kota yg jaraknya 450 km dari surabaya. Yaitu semarang. PSIS sebagai juara bertahan gagal ke 6 besar. Itulah tragedi tanpa korban jiwa.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan