Kemenangan yang Tak Patut Dirayakan! Asep Ahmad Solihin dan Perginya Bobotoh Sejati

Sejumlah ‘orang besar’ bertakziah ke rumah duka almarhum. Dari mulai para bobotoh hingga pejabat daerah. Begitupun dengan hadirnya jajaran manajemen dan perwakilan pemain dari klub kesayangan Asep, Persib Bandung.

Seusai melayat dan berdoa di pemakaman almarhum yang tak jauh dari rumah duka, Komisaris PT Persib Bandung Bermartabat (PBB), Umuh Muchtar mengatakan, Asep Ahmad Solihin adalah bobotoh sejati.

“Dia bawa tiket resmi untuk nonton, dia Bobotoh sejati. Tapi karena sudah penuh dan memaksakan diri masuk ke dalam (stadion), akhirnya dia terjebak dan terjadilah musibah ini,” jelasnya.

Umuh menambahkan, kepergian sang bobotoh sejati, tentu memberi duka yang mendalam bagi para bobotoh dan seluruh pemain serta klub Persib Bandung itu sendiri.

Bersamaan, punggawa Si Maung Bandung, Erwin Ramdani yang menjadi wakil dari pemain Persib menyampaikan duka citanya. Bersama rekan setimnya, Frets Butuan, mereka menyempatkan berdoa langsung di makam Asep Ahmad.

“Saya pribadi dari pemain, perwakilan (Persib) mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya kepada keluarga yang ditinggalkan,” ucapnya usai bertakziah.

Dia mengharapkan supaya tragedi ini menjadi yang terakhir. Baik itu yang terjadi di Bandung maupun persepakbolaan di Indonesia.

Menurutnya, tak ada yang lebih penting ketimbang keselamatan diri sendiri. Dan sepak bola, kata Erwin, adalah sesuatu hal yang pada hakikatnya harus dinikmati.

“Sudah 2 tahun tidak ada penonton. Mungkin euforianya sangat tidak terbendung apalagi kemarin laga besar. Kita sebagai pemain hanya ingin memberikan yang terbaik, penampilan yang terbaik,” jelasnya.

Erwin mengungkapkan, bobotoh pun tak selamanya harus memaksakan diri ke stadion. Terdapat cara lain dalam mendukung para pemain berlaga.

“Tidak dengan memaksakan yang pada akhirnya merugikan (bobotoh). Saya harap pikirkan keselamatan dan masa depan,” pungkasnya.

Tak Ada yang Berjaga

Asep tidak sendiri saat tragedi itu terjadi. Seorang saudara dekat yang pergi bersamanya, Raihan, (25), bercerita bahwa sekira pukul 7 malam, pintu masuk telah ditutup dan tidak ada petugas keamanan yang berjaga.

“Gak ada panpel (panitia pelaksana). Gak ada polisi. Dari belakang merangsek ke depan, saya posisi di tengah antrean. Saya berada di depan almarhum,” jelasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan