Ewuh Pakewuh

Budaya ewuh pakewuh ini masih terjadi disebabkan masih kuatnya budaya patron-klien antara bawahan dan atasannya.

Dengan berorientasi kepada kekuasaan, maka budaya patron-klien dapat timbul karena saling ketergantungan antara atasan (patron) dan bawahan (klien), bisa juga karena kedekatan dan kekerabatan. Salah satu wujud dari budaya ewuh pakewuh, kita mengenal ABS (Asal Bapak Senang).

Misalnya, apapun keinginan dari pimpinan biasanya oleh bawahan langsung dipenuhi, yang penting pimpinan senang, sekalipun mungkin keinginan itu bertentangan dengan peraturan.

Menurut Harry (2013), budaya birokrasi ewuh pakewuh, yaitu pola sikap sopan santun dilingkungan  birokrasi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat selaku bawahan yang segan atau sungkan menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan hubungan baik dengan para atasan atau senior mereka yang dianggap lebih tinggi kedudukan sosialnya.

Perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, apabila porsi budaya ewuh pakewuh berlebihan akan mempengaruhi terhadap jalannya roda organisasi, akan terjadi ketidakharmonisan, akan ada pelanggaran disiplin terhadap aturan dan etika.

Budaya Kerja Egaliter

Budaya kerja yang ewuh pakewuh dengan didasari  kesalahan pola pikir (mind set) yang menganggap unsur pimpinan seperti dewa atau raja hanya akan menimbulkan beberapa sikap yang negatif, seperti ketakutan untuk bertindak, ketakutan untuk menyampaikan pemikiran yang konstruktif, dan perbuatan lainnya.

Untuk itu, budaya kerja ewuh pakewuh ini harus sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan budaya kerja egaliter.

Budaya kerja egaliter dibangun atas dasar hubungan (engagement) dengan siapapun, baik itu antara anak buah dengan pimpinan dan unsur pimpinan, dengan unsur pimpinan lainnya bukan didasarkan pada jabatan. Budaya kerja egaliter lebih kepada kolega kerja yang sifatnya saling mendukung.

Budaya Indonesia juga mengajarkan agar pimpinan menerapkan konsep egaliter (persamaan derajat), agar terjalin komunikasi yang baik dan harmonis, serta menghilangkan “jarak” antara pimpinan dan bawahan, karena berbeda strata jabatan.

Salah satu implementasi dari budaya kerja egaliter yaitu dengan menghilangkan kebiasaan memanggil nama jabatan, kalau di pemerintahan seperti : Bapak/Ibu Sekretaris Jenderal, Bapak/Ibu Direktur Jenderal, Bapak/Ibu Inspektur Jenderal, Bapak/Ibu Direktur, Bapak/Ibu Kepala Dinas, Bapak/Ibu Kepala Badan, Bapak/Ibu Sekretaris Dewan, Bapak/Ibu Kepala Bidang, Bapak/Ibu Kepala Bagian, dan sebutan jabatan lainnya, penyebutannya menjadi  langsung memanggil nama orang yang memangku jabatan tersebut, seperti : Pa Agus, Pa Adi, Pa Ateng, Pa Andi, dan sebagainya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan