JAKARTA – Aktris Dian Sastrowardoyo mengatakan kepedulian terhadap isu lingkungan hidup dapat dimulai dari rumah dengan melakukan hal-hal sederhana; seperti bertanam, hingga memilah sampah dan penggunaan pakaian yang ramah lingkungan.
“Aku melihat semakin ke sini, isu lingkungan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Kalau kita literated dan well-informed soal ini, pasti akan sadar betul isu lingkungan ini harus masuk sampai di unit terkecil dalam kehidupan kita, yaitu keluarga,” kata Dian Sastrowardoyo saat ditemui di Jakarta, Jumat (26/11).
Lebih lanjut, pemeran Cinta dalam film “Ada Apa Dengan Cinta” (2002) itu mengatakan, orang tua terutama ibu memegang peranan penting dalam mengedukasi anak-anaknya sejak dini soal masalah lingkungan hidup.
“Ibu adalah sosok guru di keluarga. Jadi, kalau kita bicara edukasi, kita juga bicara bahwa itu dimulai dari keluarga. Isu lingkungan hidup benar-benar dijadikan hal yang penting untuk diangkat,” ujarnya.
“Selain itu, kita sekarang rasanya sudah terpisah banget sama alam. Jadi, aku merasa untuk bisa punya impact kita harus memulai, dan bisa dari keluarga dulu,” tambahnya.
Dian mengaku sebelumnya sangat jauh dengan isu ini. Ia mengatakan hatinya banyak tergerak setelah menonton ragam film dokumenter yang menurutnya mampu meningkatkan kesadaran (awareness) secara luas.
“Menurut saya untuk meningkatkan awareness dan kepekaan kolektif, kita perlu pelan-pelan memulai misalnya dari lifestyle, fesyen, hingga lifestyle menonton film di bioskop. Edukasi bukan hanya terjadi di sekolah, tapi juga terjadi di dalam lifestyle kita sehari-hari,” katanya.
Saat ditanya seperti apa peran sineas dalam menyuarakan isu lingkungan, pemeran film pendek “Laut Bercerita” (2017) itu mengatakan, para pembuat film bisa memulai dari kesadaran bahwa film yang mereka produksi memiliki fungsi edukasi, termasuk untuk isu lingkungan hidup.
“Karena masih sedikit masyarakat yang peka dengan gentingnya isu lingkungan ini dan kayaknya tugas kita sebagai sineas juga untuk meningkatkan awareness masyarakat lewat film-film dan cerita-cerita yang kita produksi,” tuturnya.
“Kalau misalnya mbak Gita (Fara, produser) dan mas Arfan (Sabran, sutradara) membuat film dokumenter tentang pejuang hutan adat, kalau misalnya saya yang (terlibat di) film fiksi, mungkin bisa memilih project-project yang tetap mengangkat isu lingkungan,” sambung Dian. (Antara)