Tayangan Televisi Indonesia Perlu Gunakan Perspektif Anak, Ini Alasannya

JAKARTA – Ketua Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Dicky Pelupessy mengatakan tayangan-tayangan yang disiarkan melalui televisi perlu menggunakan perspektif anak untuk dapat memenuhi hak anak mendapatkan edukasi.

“Kalau pakai perspektif anak, maka kita akan punya perspektif perlindungan anak. Jadi anak harus dilindungi. Anak itu punya hak dasar, hak hidup, hak tumbuh kembang, hak menyatakan pendapat dan anak itu perlu mendapat edukasi,” kata Dicky saat dihubungi ANTARA, Selasa.

Dicky menegaskan, banyak anak yang masih menggunakan media televisi untuk mendapatkan edukasi. Oleh sebab itu, televisi perlu menggunakan perspektif dari sudut pandang anak dan memiliki sensitivitas terhadap perlindungan akan hak-hak anak.

Ia sangat menyayangkan kondisi tayangan-tayangan yang disiarkan dalam dunia pertelevisian kini cukup miris. Pasalnya, banyak televisi yang lebih memilih menayangkan program gosip dan sinetron yang tidak memberikan nilai-nilai kehidupan yang baik pada anak.

Sehingga televisi lebih banyak memberikan waktu untuk tayangan orang dewasa dibanding untuk anak. Lebih lanjut dia menyarankan agar durasi pada tayangan tersebut untuk dikurangi dan diganti dengan tayangan yang lebih mendidik.

“Perbanyak tayangan edukatif dengan jumlah jamnya ditambah, kurangi tayangan negatif,” tegas dia.

Dicky menjelaskan stasiun televisi seharusnya banyak memberikan tayangan edukasi yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, semangat belajar atau memperlihatkan keberagaman yang ada di Tanah Air.

“Saya ingat dulu ada tentang Bolang (Bocah Petualang). Itu kan belajar tentang keragaman, bicara soal Indonesia berpetualang. Anak mendapatkan gambaran soal Indonesia, keberagaman, itu edukatif,” kata dia memberikan gambaran tayangan yang edukatif.

Penayangan program edukatif, kata dia, sebenarnya juga dapat diukur melalui persentase durasi penayangan program khusus anak di televisi. Pengukuran juga dapat dilihat melalui jumlah produk edukatif yang disajikan atau dihasilkan oleh stasiun televisi itu sendiri.

“Jadi menurut saya, kita itu minim program tv yang produksi dalam negeri. Itu menunjukan seberapa besar kita berinvestasi, seberapa besar kita mau meluangkan waktu berupaya untuk menciptakan tayangan-tayangan bermutu bagi anak,” ujar Dicky.

Secara terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menegaskan bahwa perlindungan pada anak merupakan kewajiban seluruh lapisan masyarakat termasuk pihak yang terlibat di dalam media.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan