Kontrak Kemanfaatan “Epicurus” dalam RUU KUP

Perbincangan rencana pengenaan PPN sembako, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan masih menghangat beberapa hari terakhir. Pasalnya, narasi yang beredar di publik mengatakan pemerintah akan memajaki sejumlah barang dan jasa yang saat ini mendapat fasilitas pengecualian pengenaan PPN melalui perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sebagian masyarakat yang menentang rencana itu berargumentasi bahwa harga barang maupun jasa tersebut akan semakin mahal, sehingga masyarakat akan semakin menderita. Terlebih jika kebijakan tersebut diberlakukan dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Anggapan lainnya yang tak kalah seru adalah ketika isu PPN sembako ini dibenturkan dengan insentif PPnBM atas pembelian mobil. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kaya justru dibebaskan pajaknya namun rakyat kecil malah dikenakan pajak. Apakah benar demikian?

Konsep Pengenaan PPN

PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum. Kata umum ini membedakan PPN dengan jenis pajak konsumsi lainnya yang bersifat spesifik, seperti cukai dan bea masuk, seperti dikutip dari pajak.go.id.

Di Indonesia, mekanisme pengenaan PPN dilakukan melalui pemungutan oleh pihak penjual barang dan/atau pemberi jasa. Pemungut PPN ini disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena mekanisme tersebut, maka PPN digolongkan sebagai pajak tidak langsung.

Sebagai catatan, tidak semua pengusaha wajib dikukuhkan menjadi PKP. Ada batasan peredaran bruto usaha (omzet) apakah pengusaha wajib dikukuhkan sebagai PKP atau tidak. Hanya pengusaha yang telah beromzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP.

Artinya, jika pengusaha beromzet di bawah Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut tidak wajib dikukuhkan PKP sehingga tidak memungut PPN atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukannya.

Pemungutan PPN oleh PKP kepada konsumen pada umumnya tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay) konsumen. Atas dasar ini, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif.

Artinya, siapapun yang dapat membeli barang dan/atau jasa kena pajak, maka ia akan dikenakan PPN. Tak peduli konsumen merupakan pihak yang mampu atau tidak mampu akan membayar jumlah PPN yang sama. Tentu ini tidak adil.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan