Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Minta, Jaksa Harus Bawa Petugas Kesehatan Independen untuk Cek Kesehatan Terpidana Mantan Juru Ukur BPN

JAKARTA  –  Mantan juru ukur BPN Jakarta Timur Paryoto dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

MA menilai, Paryoto terlibat dalam kasus pemalsuan sertifikat, alias mafia tanah di Cakung yang juga menyeret pemilik PT. Salve Achmad Djufri dan Benny Tabalujan yang saat ini masih dalam status DPO dan berada di luar negeri. Sayangnya, Paryoto belum bisa dieksekusi atau ditahan dengan alasan sakit.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki) Boyamin Saiman berpendapat, Jaksa harus membawa dokter independen untuk memastikan apakah Paryoto benar-benar sakit atau pura-pura sakit. Paryoto dikabarkan berada di salah satu rumah sakit di Bekasi dengan penyakit stroke.

MAKI menilai, pengecekan harus dilakukan karena sudah banyak terjadi kasus alasan sakit digunakan untuk menghindari eksekusi.

“Kalau pura-pura sakit itu bisa langsung ditahan. Kalau beneran sakit itu ditunggu sampai beneran sembuh langsung ditahan,” ujarnya kepada wartawan Kamis (27/5).

Kepala Sie Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Ahmad Fuady membenarkan, Paryoto dinyatakan bersalah dan belum bisa dieksekusi atau ditahan. Ia mengaku sudah menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung.

Ia mengaku akan mengecek apakah benar informasi bahwa Paryoto menderita stroke dan dirawat di sebuah rumah sakit di Bekasi.

“Kita cek lah, kalau dia memang stroke, dirawat ya berarti kita tidak bisa dieksekusi.  Nanti lihat dulu kondisinya bagaimana, kalau dia nanti memang dirawat ya tentu tidak bisa dieksekusi. Kalau eksekusi, dibantarkan tidak ada,” ujarnya saat dihubungi wartawan Selasa (25/5).

Ia mengatakan, dalam putusan MA, Paryoto divonis hukuman 4 bulan penjara. Meski sudah sempat ditahan, Paryoto juga masih harus menjalani hukuman kembali.

“Masa tahanan dihitung, tapi dia harus tetap menjalani (masa tahanan), Dia itu kan tahanan rumah, dipotong masa tahanannya. Hitungannya kalau tahanan rumah itu 3 hari di rumah, sama dengan 1 hari di rutan. Kalau tahanan kota, 5 hari di tahanan kota sama dengan 1 hari di rutan. Jadi tetap harus menjalani sekitar tiga bulanan,” ujarnya. Fuady mengatakan, jika dokter menyatakan sudah sehat, baru bisa dieksekusi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan