Kudaku Lama Tak Menari Akibat Pandemi

“Kalau diinginkan peminat mah masih, cuma kan gak bisa a. Kalau sekarang kalau di seni mah susah, soalnya kalau gak ada yang ngundang yah gak ada. Apalagi musim pandemi gini, ada yang kumpul dikit aja dibubarin, apalagi Renggong,” pungkasnya.

Dadang mengeluhkan situasi saat ini yang belum juga usai. Namun ia tidak menyalahkan pemerintah dalam menangani pandemi.

Dengan suara sedikit parau seakan menahan tangis, Dadang berkata, bahwa dirinya sangat mengapresiasi pemerintah dalam penanganan Covid-19. Akan tetapi, perkataan Dadang tidak dapat menutupi rasa rindunya untuk tampil bersama grup Renggong Surya Medal.

Ia kembali mengisap rokok kereteknya yang tinggal seperempat batang. Sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, ia menatap ke arah luar pintu dengan mata yang terlihat sedikit berkaca-kaca.

Saat ditanya mengenai kuda yang ia besarkan, Jabar Ekspres dibuat terkejut. Pasalnya, dari sepuluh kuda yang Dadang beserta grup Renggongnya miliki, kini hanya tersisa empat ekor kuda.

“Kuda dulu ada sepuluh. Kalau tampil kadang kita bawa kuda dari luar grup juga, karena yang pesen pengen 20 kuda, sering itu. Yah gitu a, kondisi, sekarang kuda cuma empat,” ujarnya.

Miris memang, mendengar grup Renggong ternama di Kecamatan Tanjungsari, Surya Medal yang sempat berada di masa kejayaannya pada 1990, kini jangankan tampil dengan kuda yang berbaris dan menari. Dadang justru ditambah sedih dengan kuda yang hanya tersisa empat ekor.

Dalam penelusuran Jabar Ekspres, grup Renggong Surya Medal didirikan sebelumnya oleh ayah Dadang bernama Sarmen, namun beliau telah almarhum sehingga grup Renggong Surya Medal kini berpindah tangan kepadanya.

“Dulu waktu jaman bapa (almarhum Sarmen) lagi jaya-jayanya a, sampe dipanggil ke luar kota. Bogor, Bandung, Subang, buat tampil. Dipanggil buat acara pemerintahan (Kabupaten Sumedang) juga sering,” imbuh Dadang

“Sedih, grup bentukan bapa sekarang udah gak jaya, udah banyak grup lain, terus ditambah pandemi gini makin sepi. Kuda tinggal tiga, di mang (paman) tiga, di saya satu,” lanjut Dadang.

Matahari semakin menyengat, udara siang kala itu terasa kering. Dadang yang selama berbicara terlihat sedih nan lesu, dengan santai sambil mematikan rokoknya ke atas asbak menjelaskan bahwa sisa kuda-kudanya itu kini dijadikan kendaraan transportasi klasik Keretek atau dikenal dengan Delman.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan