JAKARTA – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan Pengurus Wilayah Persis Jawa Barat (Jabar) tak sepakat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur investasi minuman keras atau miras.
Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Februari 2021 itu juga akan membuka keran investasi untuk industri minuman beralkohol. Karena itu, Ketua PWNU Jawa Barat KH Hasan Nuri Hidayatullah blak-blakan menyatakan penolakan terhadap Perpres miras tersebut.
“Kami menyarankan sebaiknya presiden membuka investasi di bidang lain yang lebih banyak manfaatnya. Kami secara khusus dari NU, khususnya PWNU Jabar tak sepakat dengan kebijakan tersebut,” tegas Kiai Hasan Nuri Hidayatullah diberitakan Antara, Senin (1/3) malam.
Kiai Hasan Nuri pun menyampaikan dampak negatif dari minuman keras tidak hanya dirasakan saat ini, akan tetapi bisa mengancam generasi yang akan datang.
“Karena apa pun alasannya kalau kita bicara soal manfaat dan mudarat, sisi manfaat dan perkara yang membahayakan, miras sisi mudaratnya lebih banyak dari sisi manfaatnya,” kata Kiai Hasan Nuri.
Ulama yang akrab disapa dengan panggilan Gus Hasan ini juga mengatakan investasi memang bisa mendongkrak perekonomian Indonesia, namun dia mewanti-wanti jangan berasal dari miras.
“Saran kami lebih baik mengejar investasi di sisi lain yang bisa membawa negeri ini lebih berkah untuk masa yang akan datang. Jadi kami dari NU Provinsi Jabar, tidak setuju dengan adanya pembukaan investasi dalam minuman keras,” tegas Kiai Hasan Nuri.
Sementara itu, PW Persis Jabar juga sangat menyayangkan terbitnya Perpres 10/2021 tersebut.
“Jadi jangan mengundang azab dari Allah SWT dengan sikap, perilaku dan kebijakan kita yang tidak baik. Kami sangat menyayangkan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021,” kata Ketua PW Persis Jabar Iman Setiawan Latief.
Imam mengatakan seharusnya pemerintah bisa mencegah peluang yang bisa menimbulkan kerusakan, khususnya akhlak dan perilaku masyarakat dengan memberikan restriksi atau pembatasan.
“Bukan malah sebaliknya, ini diberikan legalitas hanya karena mengharap keuntungan materil dengan masuknya investasi asing,” tegas Iman.