Rawayan, Kelompok Sastra Sunda yang Melahirkan Banyak Karya

SUMEDANG – Rawayan merupakan sebuah kelompok Sastra Sunda yang telah melahirkan banyak karya.

Diketahui bahwa Rawayan berawal dari kelompok studi budaya yang didominasi oleh mahasiswa Sastra Sunda Universitas Padjajaran (Unpad).

Hal itu ditegaskan juga oleh salah satu pendiri Rawayan, Teddi Mukhtadin (58), bahwa kelompok itu dibentuk guna menambah ilmu dari pembelajaran-pembelajaran mahasiswa di kelasnya.

Kata Teddi, kelompok Rawayan dalam kegiatannya lebih sering berdiskusi mengenai sastra, namun seiring berjalannya waktu, Rawayan justru melebarkan sayapnya dengan membahas kebudayaan secara umum.

“Yang banyak didiskusikan disini diantaranya sastra, tapi akhirnya ke teater, ke bahasa dan ke kebudayaan secara umum,” ujar Teddi saat di Jatinangor, Kabupaten Sumedang pada Minggu (28/2/21).

Ia menjelaskan bahwa setelah anggota Rawayan lulus dari Sastra Sunda, mereka tidak kemudian membubarkan diri, namun terus dihimpun dan selalu menjaga serta memelihara silaturahmi.

“Gairah untuk kreatif dalam menulis, kemudian datang adik-adik kelas juga ikut bergabung,” katanya.

Teddi menjelaskan bahwa selain berdiskusi, Rawayan juga sering membuat atau mengadakan acara-acara lain.

“Kegiatan kami selain berdiskusi sebetulnya membedah buku, atau membuat acara, diskusi, musikalisasi dan sebagainya,” ucapnya.

Sementara itu, Rawayan juga diketahui telah melahirkan karya-karya dari anggotanya.

“Diantaranya ada tiga karya anggota Rawayan ini yang dapat hadiah. Misalnya kumpulan sajak Deni Ahmad Fajar, kemudian ada satu hadiah Samsudium untuk Cerita Anak karya Dian Handrayani,” tuturnya.

Kemudian kata Teddi, anggota Rawayan selain berprestasi dalam sastra, bahasa dan budaya, mereka juga memiliki prestasi dalam hal lain.

“Selain itu juga mereka berprestasi di dalam kegiatan sastra bahasa dan budaya. Misalnya musikalisasi puisi, teater juga ada,” pungkasnya.

Teddi menegaskan bahwa Rawayan itu terbuka, bukan organisasi tertutup, sehingga boleh diikuti bagi siapa saja.

“Membuka diri untuk berdiskusi, membuat karya bersama, siapapun dapat bergabung,” ujarnya.

“Ya didiskusikan, kenapa misalnya kita tidak menyebutkan ini benar atau ini salah, yang penting juga alasan dan kapan wilujeng sumping ini digunakan, kapan wilujeng sumping muncul, kapan bagea sumping muncul, mengapa itu terjadi. Kemudian ada pergeseran ada yang berbarengan, mengapa. Jadi mengapanya itu saya kira yang jadi lebih penting dipenggunaan di masyarakat.”

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan