Mengunjungi Cibiru Wetan, Desa dengan Potensi dan Wisata Alam yang Sayang Dilewatkan

CIBIRU – Bandung merupakan salah satu wilayah yang kaya akan potensi, entah itu potensi alam ataupun non alam. Begitu pula dengan desa Cibiru Wetan, salah satu desa yang memiliki potensi alam dan wisata menarik di kecamatan Cibiru, Bandung.

Desa yang menjadi tempat tinggal bagi sekitar 18.000 penduduk ini berada di wilayah seluas 325.011 hektar. Masyarakat di desa ini memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dan menjadikan ini sebagai mata pencariannya.

Seperti di Dusun Satu, RW 1, RW 2, dan RW 18, masyarakat berprofesi sebagai peternak dengan memelihara sapi perah dan sapi pedaging. Selain beternak sapi, sebagian warga juga membudidayakan buah-buahan dan pertanian pangan seperti jagung singkong.

“Selain sapi perah, Cibiru Wetan juga memiliki tanaman khas yang dikenal walaupun bukan asli sini, namun banyak ditemui yaitu Jeruk Pamelo dengan ciri khas rasa lebih asam dan kecut,” tutur Hadian Supriatna, Kepala Desa Cibiru Wetan.

Selain itu, untuk potensi alam, Cibiru Wetan memiliki kawasan gunung hutan pangkuan desa. Kawasan Hutan Pangkuan Desa (KHPD) adalah kawasan hutan negara yang secara administratif masuk wilayah desa. Kerja sama tersebut berupa perlindungan usaha antara lembaga masyarakat desa hutan yang di bawahnya ada kelompok Perhutanan Sosial dengan Perhutani.

“Kita ada skema kerjasama dengan Perhutani dan Perhutanan Sosial, karena hutan tersebut juga milik Perhutani, sehingga dibuatlah kerja sama. Saat ini mereka sedang mengembangkan kopi Manglayang dengan luas area 120 hektar, namun belum seluruhnya ditanami. Sebagian dikembangkan pada wisata alam seperti Batu Kuda dan wisata Pasir Citerong,”ujar Hadian.

Salah satu komoditas unggulan desa Cibiru Wetan adalah kopi Manglayang. Kopi ini menjadi salah satu kopi paling digemari dengan citarasa asam manis. Meskipun sudah ada masyarakat yang mengolah kopi mereka, Hadian menyayangkan sebagian masyarakat yang tidak mengolah sendiri dan masih menjual hasil perkebunan mereka dalam bentuk biji siap sangrai.

“Masyarakat seiring peningkatan pengetahuan sudah mulai mengolah. Dan di (wisata) Tangga Seribu pun sudah disediakan display kopi. Namun sebagian besar masih dijual ke pengepul luar dalam bentuk biji siap sangrai,” tuturnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan