Imlek Bencana

“Cukup. Itu besar. Kalau terlalu banyak uang papa nanti dugem lagi,” ujar Roy.

Sebagai ayah saya mengelus dada. Kok ada anak seperti itu. Untung anak saya tidak mengambil alih usaha saya. Bahkan saya minta untuk mengurusnya pun mereka tidak mau. Mereka pilih mengurus usaha yang mereka rintis sendiri.

Saya selalu menyarankan kepada teman-teman saya sesama pengusaha. Yang umur mereka seumuran saya. Hendaklah mulai memberikan kepercayaan kepada anak yang sudah besar. Jangan sampai anak yang sudah besar masih dianggap anak kecil.

Sebagian mengikuti saran saya. Atau mereka sendiri memang punya prinsip yang sama. Sebagian lagi tetap saja tidak mau mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada anak.

Orang punya prinsip sendiri-sendiri.

“Roy…” tanya saya kepadanya “… menurut Anda papa itu sebenarnya sayang Anda atau tidak?”

“Menurut perasaan saya, papa itu sayang saya,” jawabnya tegas. “Mungkin semua kejadian tadi adalah cara papa mendidik saya,” tambahnya.

Tapi kalimat itu ia ucapkan Rabu lalu. Ia tidak menyangka bahwa keesokan harinya, Kamis kemarin, polisi menggerebek showroom di Jalan Ketabang Kali yang sudah seminggu ia kuasai itu. Papanya juga datang ke showroom itu. Terjadilah perang mulut antara anak dan bapak. Yang terekam di video. Lalu beredar luas di Surabaya.

Roy sendiri ditangkap polisi. Saya tidak tahu itu.

Padahal Roy sudah setuju podcast yang ia minta itu akan dilakukan Jumat pagi –hari pertama Imlek.

Jumat pagi tim podcast saya sudah siap di Harian Disway. Roy tidak jadi datang. Mungkin ia di ruang tahanan. Berarti di malam tahun baru Imlek ia tidak jadi ke rumah papanya. Bahkan mungkin saja ia di tahanan.

Tapi podcast telanjur siap. Maka saya tiru cara Najwa Shihab: mewawancarai Roy in absentia. Bedanya, saya sudah tahu jawaban Roy. Jadi, wawancara itu bisa 20 menit.

Itulah podcast pertama setelah saya terkena Covid-19. Yang sudah diunggah ke YouTube tadi malam. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan