Tapi, kini, harapan Trump pada si Game Changer sudah pupus. Kian lama bisik-bisik itu kian berisik. Lalu jadi teriakan lantang: obat itu sama sekali tidak cocok untuk Covid-19.
Dan Fox News tidak pernah memberitakannya lagi.
Lalu Trump mencoba menyalah-nyalahkan Tiongkok. Semacam cari kambing hitam –yang kebetulan memang hitam. Tapi Tiongkok melawan.
Ganti Trump menyalah-nyalahkan WHO –dan menghentikan iuran Amerika ke lembaga itu. Yang nilainya Rp 7 triliun setahun.
Tidak pula bisa menyelamatkan nama Trump.
Lalu ketemulah cairan disinfektan, terik matahari, sinar ultraviolet dan cairan pemutih yang disebut bleaching.
Trump memang tidak langsung menginstruksikan jalan baru itu. Tapi juga tidak mau mengabaikannya –karena rumor tentang itu sangat luas dibicarakan di masyarakat.
Bahwa isu ini akan negatif bagi Trump bisa dilihat dari reaksi wartawan –yang sebenarnya sudah mulai bosan dengan brifieng harian itu. Yang mereka nilai hanya jadi panggung Trump untuk kampanye pilpres.
Wartawan The Washington Post pun bertanya dengan nada menyerang: kami wartawan hadir di sini untuk mendapat informasi penting, bukan untuk mendengarkan rumor…
Trump bergegas memotong pertanyaan itu. Ia menunjukkan keterampilan tingginya di bidang serang-menyerang: Saya ini Presiden, Anda itu pembuat pemberita palsu.
Ya sudahlah.
Trump memang jago di situ.
Tapi jurus-baru-suntik-disinfektan itu hampir pasti justru membuatnya kian terlihat ‘ia bukan pemimpin di kala krisis’.
Saya benar-benar khawatir Trump akhirnya tinggal menemukan jalan perang itu –untuk bisa menang.
Apalagi kalau pilpresnya tidak bisa meniru pilkada di Indonesia: ditunda.(Dahlan Iskan)