Omnibus Law Berpotensi Perburuk Ekonomi

JAKARTA – Banyak pihak yang menyambut baik penerbitan UU Omnibus Law yang nantinya bakal menggeliatkan perekonomian nasional. Harapan tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab apabila tidak terkontrol justru akan menjadi bumerang bagi ekonomi Indonesia.

Peneliti Institute for Developmen of Economic and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengingatkan pemerintah untuk berhati-hai dalam mengimplementasikan Omnibus Law. Pasalnya kebijakan tersebut berpotensi memperburuk neraca perdagangan apabila tidak dapat mengontrolnya.

Dia menjelaskan, jika dilakukan penyederhaan perizinan berusaha, maka kegiatan ekspor dan impor bakal berpotensi longgar. Dari sisi frekuensi perdagangan memang bakal naik signifikan, namun akan terjadi tidak terkontrol dan terjadi perdagangan yang tidak berkualias.

“Efek Omnibus Law justru akan meningkatkan defisit perdangan kita ke depan. Ini perlu diwaspadai,” ujar dia kemarin, (20/1).

Catatan dia, selama dua tahun terakhir defisi neraca dagang masih belum membaik. Ini bisa dilihat dari persentase degree of openess terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin rendah dari 47,7 persen pada periode 2011-2015 menjadi 39,9 persen pada 2016-2018.

Saat ini, menurut Andry, model kerja sama perdagangan di berbagai dunia mulai mengarah pada restriksi perdagangan karena isu kedaulatan ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia jangan terlena dengan Omnibus Law. “Dalam hal ini dengan memberikan karpet merah terhadap skema perdagangan yang tidak berkualitas,” ucap dia.

Terkait restriksi, Andry meminta pemerintah perlu menguatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk dalam negeri. Persoalannya, karena masih banyak produk dalam negeri yang belum SNI, sehingga banyak produk impor yang mudah masuk ke Indonesia dan melibas produk domestik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia per Oktober 2019 mengalami surplus USD161,3 juta. Hal itu didapat karena nilai ekspor sebesar USD14,93 miliar dan impor USD14,77 miliar.

Namun secara kumulatif dari Januari-Oktober 2019 neraca perdagangan Indonesia defisit USD1,79 milar. Di mana total ekspornya USD139,1 miliar dan impornya USD140,8 miliar.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal menuturkan, ada tiga faktor penyebab defisit neraca perdagangan semakin meningkat. Di antaranya, ketergantungan terhadap bahan baku dan modal dari produksi luar negeri atau impor yang semakin tinggi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan