Fee Kemacetan

Mesin bisa mati. Itu bahaya.

Itulah yang saya alami kembali.

Yang mengajarkan itu bos saya –yang sudah seperti ayah sendiri: mendiang Bapak Eric Samola. Beliau juga seorang perli mobil.

Suatu saat paha kiri saya pernah beliau pukul: akibat telapak kaki kiri saya selalu menempel di pedal kopling.

“Lepaskan,” kata beliau keras.

“Tidak biasa pak. Bahaya,” jawab saya.

“Harus dibiasakan,” kata beliau.

Sejak itu saya selalu ikuti cara mengemudi beliau. Kaki kiri injak kopling kalau lagi diperlukan saja.

Itu akan menghemat rem. Penurunan kecepatan tidak dengan rem –tapi dengan gigi yang lebih rendah.

Beliau tidak hanya mengajari saya berbisnis. Juga bagaimana berkarakter.

Selama berhati-hari menjelajah jalan raya di Inggris saya tidak pernah menemukan medan yang sulit. Tidak ada tanjakan seperti di Sumba. Atau Sumut. Atau Toraja. Atau di Yellow Stone. Atau di Rocky Mountain.

Juga tidak ada yang berkelok-kelok seperti di Sumba. Atau Flores –yang saya nama Kelok Seribu itu.

Di Kota London saya mendapat pengalaman baru: membayar fee kemacetan. Besarnya Rp 200.000/hari.

Agar tidak menambah kemacetan di London.

Itu karena salah saya sendiri: membawa mobil dari luar kota masuk ke London.

Semula saya tidak tahu peraturan itu. Tahunya waktu mau membayar parkir.

Yang membayar parkirnya harus pakai Apps.

Berarti harus memasukkan nomor plat mobil. Lalu ketahuan: mobil dari luar London.

Parkir di pinggir jalan Rp 90 ribu/jam. Maksimum 4 jam: Rp 500 ribu.

Maka membawa mobil ke London amat sangat repot. Lebih praktis pakai kereta bawah tanah. Atau bus kota.

Membawa mobil sendiri menghabiskan waktu. Untuk muter-muter cari tempat parkir. Atau terlalu banyak berhenti di lampu bangjo.

Kaki kiri pun penat. Begitu sering harus menginjak kopling.

Di London berlaku prinsip Gubernur Anies Baswedan: alat transportasi terpenting adalah kaki.(Dahlan Iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan