Untung ada Komentar

Tapi soal DI’s Way terbit tiap pagi hari, rasanya akan saya pertahankan. Saya setuju: ini masih terbawa budaya cetak. Harus terbit pagi. Belum budaya digital. Yang bisa menulis kapan saja dan terbit saat itu juga.

Tapi saya punya pertimbangan lain: ingin mendisiplinkan diri. Kadang orang harus ‘dipaksa’ untuk konsisten. Saya sengaja mengikatkan diri dengan komitmen itu. Saya yakin ini: orang yang biasa terikat dengan komitmen akan memperoleh kepercayaan.

Padahal kepercayaan adalah modal utama hidup. Bukan uang.
Mungkin saja saya terlalu khawatir. Kalau saya boleh nulis kapan saja dan terbit kapan saja hasilnya bisa tidak menulis sama sekali. Merasa tidak terikat komitmen. Dan itu memang enak. Nyaman. Tidak ada pressure. Tidak stres. Tapi lantas untuk apa hidup?

Saya masih belum bisa menemukan cara baru mengikatkan diri pada komitmen. Mungkin saja beda orang beda cara. Beda generasi beda perilaku.

Buktinya sering saya alami. Setahun ini. Pikiran suntuk. Tidak mood. Tidak ada ide. Atau banyak ide tapi tidak bisa ditulis. Banyak masalah. Banyak pekerjaan. Saya bisa pastikan tidak akan bisa menulis kalau tidak terikat komitmen itu.

Tapi begitu dekat headline beda. Hati langsung memerintahkan saya harus mulai menulis. Maka jadilah tulisan itu.
Kadang saya harus buka DI’s Way edisi-edisi sebelumnya. Untuk membaca ulang komentar-komentar. Dari situ biasanya muncul semangat untuk menulis.

Pembaca begitu hidup di benak saya. Mereka menunggu DI’s Way besok pagi. Ayo. Nulis.
Maka jadilah tulisan itu.
Selalu begitu. Sampai hari ini.
Entah sampai kapan. (dahlan iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan