Siapakah Capres Alternatif di Pilpres 2019 Mendatang

Jakarta – Prediksi Pilpres 2019 akan semakin raman diikuti para tokoh.

Bahkan, dari nama yang bermunculan saat ini, ada tokoh alternatif dalam Pilpres 2019 mendatang.

Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono menjelaskan bahwa ada dua tokoh alternatif saat Pilpres 2019 mendatang.

“Saya melihat ada dua nama yang kuat , diprediksi akan kembali bertarung di pilpres 2019, yaitu Jokowi dan Prabowo. Kubu pendukung Jokowi menyatakan sudah siap rematch dengan mantan Danjen Kopassus itu tahun depan. Begitu pun kubu Prabowo yang tak mau kalah gertak,” jelasnya, Senin (11/6).

Dirinya menambahkan, bahwa adu kuat dua capres ini, sudah terjadi di social media antar kedua pendukung.

“Prabowo-Jokowi ini sudah siap tempur. Bahkan berdampak pada kegaduhan di dunia maya hingga aksi saling lapor akibat “perbuatan tidak menyenangkan” dari kedua kubu,” jelasnya.

Meski keduanya tengah riuh rendah di atas, menguatnya popularitas hastag #2019GantiPresiden menunjukkan masyarakat ingin pilihan anternatif dari dua kubu yang ada saat ini

“Saya kira hastag tersebut tidak bisa lagi diklaim milik pendukung Prabowo, karena sebagian besar aktivis di belakang #2019GantiPresiden justru figur alternatif,” terangnya.

Dalam pengamatan saya, mereka tampaknya punya hitungan matematis mengenai kemungkinan Pilpres 2019 nanti.

“Jadi ada kalkulasi, jika mereka mendukung Prabowo, hastagnya seharusnya langsung menguatkan nama Ketua Umum Partai Gerindra, sehingga berdampak pada penguatan elektabilitas Prabowo. Pasalnya karakteristik “pesan” dalam komunikasi politik sangat  menentukan peluang kandidat,” paparnya.

 Lalu bila gerakan #2019GantiPresiden membuka nama alternatif, siapa yang terkuat? Setidaknya ada dua nama (selain Prabowo) yang bisa dikatakan dekat secara politik dengan gerakan ini, yaitu Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan.

Gatot memiliki modal sebagai mantan Panglima TNI, sementara Anies cukup banyak yang bisa dijual selama menjabat Gubernur DKI Jakarta.

“Lalu siapa yang paling berpeluang diantara keduanya? Sejak Pilpres langsung 2004, kita masuk ke dalam era demokrasi media. Ini bukan term akademik, melainkan fenomena empirik yang terjadi di Indonesia,” paparnya.

Jika melihat perjalanan SBY dan Jokowi—dua presiden hasil pilpres langsung memiliki banyak perbedaan. Namun persamaannya, keduanya mampu memanfaatkan media secara baik—yang pasa akhirnya menghasilkan dampak elektoral.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan