”Peristiwa ini tak jarang muncul pada emosi kolektif kedua belah pihak yang muncul pada saat-saat tertentu,” ungkapnya.
Aher pun menegaskan, peristiwa masa lalu hanyalah sebatas untuk dikenang dan jangan sampai menimbulkan persoalan atau permusuhan di masa kini. ”Tentu saja peristiwa masa lalu hanya untuk dikenang dan tidak boleh menimbulkan persoalan apalagi permusuhan sampai masa kini pada anak cucu dari kedua etnis besar ini,” terang Aher.
”Karena itu kita sepakat perasaan atau sentimen negatif yang dipicu peristiwa masa lalu perlu kita akhiri. Alhamdulillah hambatan-hambatan tersebut hari ini diakhiri di Yogyakarta,” tambahnya.
Menurutnya, ikatan yang lebih kuat adalah dalam konteks kebangsaan Indonesia dan keislaman yaitu ukhuwah Islamiyah. ”Ikatan yang lebih kuat di antara kita adalah dalam konteks kebangsaan Indonesia dan keislaman ukhuwah Islamiyah, itu kan melebihi ikatan yang terkait dengan kesukuan,” tuturnya.
Tak sampai di situ, rencananya Aher juga akan mengusahakan nama jalan Pajajaran dan Siliwangi ada di Provinsi Jawa Timur. ”Mudah-mudahan, saya akan kontak Pakde Karwo (Gubernur Jatim) agar ada nama jalan Pajajaran dan Siliwangi di Jatim begitupun, Jalan Hayam Wuruk dan Majapahit di Jawa Barat,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menganggap, penamaan jalan ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
”Peristiwa ini saya anggap menjadi peristiwa yang sangat penting dalam sejarah perjalanan bangsa,” kata Sultan.
Senada dengan Aher, Sultan juga punya harapan, sebagai dua suku bangsa terbesar di Indonesia tidak perlu mengungkit konflik sejarah masa lalu yang penuh dendam, prasangka dan kebencian.
”Saya sependapat dengan apa yang dikatakan Pak Gubernur (Jabar). Kami sebetulnya hanya punya harapan yaitu dendam, prasangka maupun kebencian yang akhirnya menuntut kita untuk melupakan masa lalu yang penuh kekeliruan dan kesalahan dan kita juga perlu saling memaafkan,” ungkap Sultan.(yan/rls/rie)1