Fullday School Tidak Wajib

jabarekspres.com, NGAMPRAH– Penerapan fullday school (sekolah sehari penuh) berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 27 Tahun 2017 tentang hari sekolah yang mengatur sekolah 8 jam/hari dalam 5 hari, tidak diwajibkan untuk diterapkan di sekolah. Hal itu ditegaskan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat Imam Santoso di Ngamprah, kemarin. “Tidak diwajibkan seluruh sekolah harus menerapkan sistem fullday school,” kata Imam.

Dia juga tidak melarang bila ada sekolah yang ingin menerapkan sistem   fullday school dengan catatan tidak membebankan para siswa dan orangtuanya. Sebab, dengan menerapkan sistem fullday school ada pertimbangan yang harus diterima siswa dan orangtua. Mulai dari akan keluar lebih banyak biaya sehari-hari. “Karena jam istirahat bertambah menjadi dua kali. Makan siang di sekolah juga akan menambah beban biaya siswa karena siswa juga akan pulang sekitar jam 3 sore. Makanya sistem fullday school tidak diwajibkan tapi dikembalikan kepada sekolah masing-masing,” terangnya.

Diakui Imam, sejauh ini ada beberapa sekolah yang sudah menerapkan sistem fullday school. Kebanyakan sekolah tersebut berada di wilayah Lembang. Menurut Imam, penerapan fullday school masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Selain persoalan tambahan biaya siswa, hal lainnya mengganggu aktivitas mengaji anak-anak yang biasa dilakukan pada sore hari di rumahnya masing-masing. “Persoalan yang ramai itu, terkait dengan kegiatan mengaji anak-anak. Kalau siswa harus pulang jam 3 sore, tentu untuk mengaji sore akan kecapean,” ungkapnya.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung Barat Samsul Maarif mengungkapkan, kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan soal penerapan fullday school tersebut bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 tentang wajib belajar Pendidikan Keagamaan atau Diniyah Takmiliyah Awaliyah bagi jenjang pendidikan dasar SD/MI setelah pulang sekolah. “Kalau lama di sekolah, kapan mereka akan mengaji. Jelas ini bertentangan dengan Perda,” sesalnya.

Samsul memandang, kebijakan tersebut terlalu bersifat sentralistik tanpa mengidahkan kondisi di daerah-daerah. Menurut dia, tidak semua daerah cocok menerapkan kebijakan seperti itu. “Kebijakan itu tanpa melihat kondisi di daerah seperti apa kondisi geografisnya, infrastruktur, kearifan lokalnya dan kondisi lainnya, apakah sudah memadai. Jangan sampai diterapkan begitu saja,” ujarnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan