jabarekspres.com – DIPROTES sekencang apapun, kebijakan sekolah lima hari oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah pasti tetap digulirkan. Jika dirunut ke belakang, kebijakan ini buah dari kebiasaan menteri baru membawa gagasan baru. Penerapan sekolah lima hari yang bertahap, diharap langgeng meskipun ada pergantian kabinet 2019 nanti.
Wacana pemberlakuan sekolah sehari penuh dilontarkan Mendikbud Muhadjir Effendy pertama kali pada Agustus 2016. Tepat sebulan setelah dia dilantik menjadi Mendikbud menggantikan Anies Baswedan. Pengamat pendidikan Jejen Musfah mengatakan rencana pemberlakuan sekolah lima hari, kemudian populer dengan sebutan full day school, memang telah berkembang sejak tahun lalu.
’’Sepertinya sudah sunnatullah menteri baru membawa kebijakan baru,’’ katanya di Jakarta kemarin. Pria yang menjabat sebagai Ketua Program Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, ada fakta bahwa pernyataan ganti menteri ganti kebijakan itu memang berlaku.
Perilaku ganti menteri ganti kebijakan itu didasari oleh banyak faktor. Diantaranya adalah seorang menteri merasa dituntut untuk menghadirkan program yang inovatif, baru, dan kreatif. Tidak mungkin seorang menteri hanya meneruskan program menteri sebelumnya tanpa ada program baru.
’’Menteri yang tidak membawa kebaruan, baik itu program atau kebijakan, dianggap tidak ada prestasinya,’’ katanya. Padahal menurut Jejen untuk dunia pendidikan tidak bisa serta merta menjalankan kebiasaan ganti menteri ganti kebijakan. Sebab urusan pendidikan itu menyangkut sekitar 50 juta murid dan 3 jutaan guru.
Jejen menjelaskan kebijakan apapun di dunia pendidikan, tidak akan bisa dilakukan secara serentak. Termasuk penerapan sekolah selama delapan jam sehari. Sebab ketimpangan sekolah di Indonesia masih terjadi sampai saat ini. Kebijakan sekolah delapan jam sehari bisa jadi baik di sekolah tertentu. Tetapi di sekolah lainnya kebijakan tersebut mustahil diterapkan.
’’Contohnya di sekolah yang menjalankan dua sift. Ada yang masuk pagi dan siang,’’ tuturnya. Dipola seperti apapun, cukup kesulitan siswa di sekolah dua sift itu untuk masuk bersamaan. Sebab infrastruktur kelasnya terbatas. Kemudian gurunya juga terbatas.
Meskipun begitu Jejen berharap masyarakat tidak berlebihan dalam merespon kebijakan sekolah delapan jam ini. Karena aturan hukumnya sudah diterbitkan, dia berharap masyarakat melihat bagaimana implementasinya di lapangan. Menurut Jejen Kemendikbud pasti memiliki agenda evaluasi. Nanti pada tahap evaluasi itu, temuan-temuan kelemahan pasti akan diperbaiki. ’’Jangan sampai ada masyarakat yang tidak paham maksudnya Mendikbud, tiba-tiba menjadi seperti pakar pendidikan,’’ tuturnya.