Nasirun, si Pengumpul Karya Pejuang Kebudayaan

Nasirun mengakui upayanya mengumpulkan satu per satu karya seni bersejarah itu sebagai penghormatan kepada para senimannya. ’’Mereka adalah pejuang kebudayaan,’’ ungkap perupa ’’besar’’ yang tak mau menggunakan handphone untuk  alat komunikasi dan ke mana-mana naik sepeda motor ’’butut’’-nya itu.

Meski begitu, Nasirun tidak melakukan jual beli karya koleksinya itu. Hatinya tak tega. Sebab, setiap kali melihat koleksinya, dia selalu teringat cerita bagaimana proses untuk mendapatkan karya tersebut. ’’Meski aku kadang-kadang rodok mumet,’’ katanya lalu tertawa.

Seiring bergulirnya waktu, dia pun berpikir untuk memiliki ruang khusus yang betul-betul dia dedikasikan untuk para senior. ’’Saya tidak memajang satu pun karya saya di sana,’’ tegasnya.

Menurut dia, sebuah karya ketika di-display dan bisa dinikmati orang lain, memiliki makna yang lebih. Publik bisa datang dan melihatnya. ’’Makanya kadang bisa ramai banget yang datang ke sini. Sehari bisa 300-an orang,’’ lanjutnya.

Nasirun tidak memungut biaya untuk masuk museumnya. Mereka yang datang diperlakukan sebagai tamu yang berkunjung. Seluruh biaya operasional serta perawatan museum ditanggung sendiri oleh Nasirun. ’’Kalau lukisan saya nggak laku, nggak bisa nge-frame saya,’’ katanya lalu terbahak.

Di ruang koleksi, sebagian besar seniman yang karyanya terpajang sudah meninggal dunia. Ketika melihat lukisan-lukisan di ruangan itu,  ingatan Nasirun  otomatis tentang almarhum. ’’Juga ingat proses pencarian ahli warisnya. Artinya karya itu kemudian jadi bagian hidup keluarga yang ditinggalkan,’’ katanya.

Mengingat proses awalnya, tutur Nasirun, beratnya luar biasa. Itulah sebabnya  kenapa sampai sekarang dia tak mau bersentuhan dengan peranti lunak. Dia tak punya gadget atau segala hal yang berhubungan dengan dunia maya. Waktunya benar-benar dia bagi hanya untuk keluarga, profesi, dan orang lain. Karena ada sesuatu yang dia perjuangkan lewat koleksi itu.

’’Ada lukisan-lukisan para legenda, yang sampai sekarang rumah saja belum punya.  Makanya ini karyanya saya rumahkan. Hahahaha,’’ katanya kembali tergelak.

Hampir semua ahli waris yang dia temui membuatnya belajar banyak hal. ’’Kalau bicara kemanusiaan tapi nggak ada interaksi,  kan hanya jadi teori,’’ katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan