Masuk Fase Darurat Keindonesiaan

bandungekspres.co.id, COBLONG – Sejumlah antropolog senior menyoroti munculnya berbagai fenomena keberagaman dan ormas-ormas baru di Indonesia belakangan ini. Menurut Meutia F. Swasono, adanya gerakan aksi masa secara besar-besaran mempertajam perbedaan dengan melakukan politik identitas.

Meutia menganggap Nilai Keindonesiaan makin tergerus. ”Sehingga, kami bersama dengan 300 antropolog di Indonesia menyatakan sebagai darurat Keindonesiaan,” ucap Meutia ditemui di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan, kemarin (16/12).

Para antropolog ini menyatakan sangat menolak segala bentuk kekerasan, pemaksaan, penyerangan, serta pembungkaman terhadap agama dan ras. Pada saat yang bersamaan, khususnya Panglima TNI dan Kapolri diminta menegakan hukum secara adil dan independen. Serta tidak terpengaruh oleh tekanan kelompok tertentu.

Gerakan Antropolog Untuk Indonesia Yang Bhineka dan Inklusif, juga menyerukan pula penggunaan media sosial untuk memperluas jalinan persahabatan dan persaudaraan, bukan untuk menyudutkan warga, kelompok, atau golongan lain.

”Penyataan sikap dan seruan tersebut semata-mata bertujuan untuk menjaga dan merawat bersama kesatuan Indonesia yang dibangun para perintis bangsa lebih dari 70 tahun lalu. Di tengah tantangan global masa kini dan masa depan, Indonesia harus dan jelas mampu bertahan sebagai satu negara besar dengan kearifan keragaman yang dibanggakan,” kata Meutia.

Sementara antropolog lainnya, Titi Pudji mengatakan, ilmu antropologi mengajarkan Indonesia yang bhineka dan beragam. Kekerasan, penyingkiran, pembungkaman adalah ancaman pada Keindonesiaan.

”Kebhinekaan bukanlah hal yang hal yang baru. Dia sudah ada sejak jauh sebelum Indonesia merdeka,” ungkapnya.

Dalam kesempatan tersebut, lanjut dia, demokrasi dan hukum di Indonesia sepenuhnya dilindungi konstitusi. Persoalannya, kebebasan berpendapat dan berserikat itu telah disalahgunakan.

Menurut dia, semakin sering terlihat nilai-nila perbedaan, pembatasan, pengecualiam ditebarkan untuk membenturkan kelompok satu dengan yang lainnya. Dalam kesempatan tersebut, dirinya menilai dalam hal ini para akademisi harus bersikap netral.

”Jika para akademisi ikut campur, maka hal ini akan memperkeruh suasana,” ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut terdapat deklarasi gerakan antrologi untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif. Ke depan, setelah deklarasi akan mengadakan sosialisasi terhadap gerakan bhineka dan Inklusif. (nit/fik)

Tinggalkan Balasan