Perlu Kode Etik Menteri, Hindari Kegaduhan Kabinet Berulang

bandungekspres.co.id – Keributan antarmenteri dalam Kabinet Kerja menjadi salah satu potret buruk pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dengan fakta kegaduhan antarmenteri yang berulang setiap tahun, diperlukan sebuah mekanisme untuk mengatur tindakan para menteri agar tidak saling menjatuhkan koleganya di depan publik.

Ide tersebut disampaikan mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan dalam diskusi bertajuk Para Menteri Bertikai, Apa Langkah Presiden Jokowi? di Jakarta kemarin. Menurut dia, perselisihan menteri sejatinya bukan hal baru. Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perbedaan pendapat antarmenteri lumrah terjadi.

”Pernah ada perselisihan. Bahkan sampai adu fisik. Tapi, kan tidak terbuka ke publik,” ungkap Djohermansyah.

Perselisihan semacam itu, kata dia, diselesaikan di lingkungan internal pemerintah. Presiden biasanya tidak turun tangan, tetapi menyerahkan penyelesaian dengan menugasi Menko terkait atau wakil presiden.

”Dulu Pak SBY gak mau pusing. Kalau antarmenteri ribut, diselesaikan Menko. Kalau Menko juga ribut, diselesaikan Wapres,” kata mantan deputi sekretaris Wapres bidang politik itu.

Presiden Institut Otonomi Daerah (IOD) tersebut menambahkan, perlu sebuah kode etik yang mengatur para anggota kabinet. Kode etik itu bisa berisi hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan para menteri. ”Karena ini aktor-aktor (menteri)-nya tidak paham fatsun, belum mudheng, buat saja code of conduct (kode etik, Red),” jelas Djohermansyah.

Dia mengingatkan, menteri merupakan jabatan penting. Dengan posisi itu, dibutuhkan sosok yang tidak sekadar tampil, tetapi juga memenuhi tugas membantu presiden. Menteri yang melanggar kode etik harus segera diberi peringatan. ”Harus segera diingatkan kalau ada kesalahan. Kalau tidak berubah, ya mungkin dia bisa dikeluarkan (di-reshuffle, Red),” tandasnya.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Pareira menambahkan, presiden seharusnya tidak perlu turun tangan menangani kegaduhan para menteri. Presiden sudah memiliki tiga bawahan, yakni menteri sekretaris negara, sekretaris kabinet, dan kepala staf kepresidenan, yang bisa menangani polemik para menteri.

Di tempat yang sama, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto sepakat dengan pernyataan Djohermansyah. Presiden memiliki perangkat untuk mengoordinasi para menteri. Namun, implementasi koordinasi itu harus dilakukan presiden.

Tinggalkan Balasan