Dokter Pertama Papua yang Berbagi Pengalaman Kesehatan via Buku

Prinsipnya, Tulis Apa yang Sudah Dikerjakan

Buku pertama Aloysius Giyai yang didasarkan pada fakta dan pengalamannya menjadi pegangan luas praktisi kesehatan di Papua. Dia tak ingin anak-anak Papua bernasib seperti dirinya: kehilangan lima saudara karena penyakit.

LUSIA ARUMINGTYAS, Biak

Aloysius Giyai
LUSIA ARUMINGTYAS/JAWAPOS

BERAWAL DENDAM: Raymondus menjadi dokter pertama Asal Papua yang
berhasil menulis buku dan dijadikan panduan bagi praktisi medis di Papua.

PESTA Natal yang semestinya indah itu malah berujung memalukan bagi anggota keluarga Giyaibo Raymondus Giyai. Mereka dilarang mengikuti pesta. Gara-garanya, tak membawa sarden dan mi seperti yang diwajibkan para tetua adat.

Karena malu, kecewa, dan marah, Raymondus pun bersumpah di hadapan puaknya di Kampung Onago, Kabupaten Benyai, Papua. ”Saya akan menyekolahkan anak-anak saya agar tak hanya bisa membeli kedua barang itu, tapi juga bisa langsung melihat pembuatannya,” kata Raymondus.

Dengan kata lain, sekolah setinggi-tingginya dan menduduki jabatan terhormat. Ternyata, 54 tahun berselang setelah Natal kelam pada 1961 tersebut, sumpah Raymondus itu terwujud.

Salah seorang anaknya, Aloysius Giyai, tak hanya telah menyandang gelar dokter gigi dan magister kesehatan dari perguruan tinggi terpandang, Universitas Airlangga, Surabaya. Tapi juga dipercaya sebagai kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua sejak 2014.

Alo -sapaan akrab Aloysius- memang baru lahir sebelas tahun setelah kejadian yang mempermalukan keluarganya itu. Tapi, insiden tersebut melekat di benaknya berkat cerita sang bapak yang lantas diabadikannya di buku yang ditulisnya, Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua: Bercermin pada Fakta RSUD Abepura.

Buku yang terbit pada 2012 tersebut sekaligus menjadikan ayah empat anak itu dokter asli Papua pertama yang melahirkan buku. Karya kedua pria kelahiran 8 September 1972 tersebut menyusul diluncurkan bulan lalu, bertajuk Melawan Badai Kepunahan.

Alo percaya, lewat buku, perjuangannya untuk meningkatkan kondisi kesehatan di Papua bisa terbantu. ”Menulis itu untuk keabadian. Saya menulis agar generasi selanjutnya tahu apa yang kami perjuangkan di Papua,” ungkapnya kepada Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) yang menemuinya di Biak bulan lalu.

Tinggalkan Balasan