Dokter Pertama Papua yang Berbagi Pengalaman Kesehatan via Buku

Buku pertama memadukan racikan data dan fakta yang dibingkai kisah menyentuh seorang dokter asli Papua yang dipercaya untuk menduduki jabatan tinggi. Tak ada yang dilebih-lebihkan. Semua berfondasi pada pengalamannya menjadi direktur utama RSUD Abepura, Jayapura.

Pengalaman yang tak semuanya menyenangkan. ”Ketika saya diangkat (sebagai direktur utama, Red), banyak pihak menghina dan merendahkan. Ada yang bilang, kamu itu tidak bisa kerja atau orang Papua susah pegang jabatan tinggi,” ungkap pria yang kini menjabat kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua.

Alo mengaku, menerima dengan lapang dada semua kritik dan cercaan itu. Dia memilih menjawabnya dengan kerja keras. Alhasil, di bawah kepemimpinannya, RSUD Abepura menjadi barometer rumah sakit di Papua. ”Kami pun mendapatkan penghargaan sebagai rumah sakit paling bersih,” ujarnya.

Fakta memang menjadi salah satu kunci dalam penyusunan buku yang memakan waktu hingga 1,5 tahun tersebut. Alo tak mau bukunya teoretis. Dia ingin karyanya bertumpu pada hasil penelitian dan tindakan selama ini. ”Prinsipnya adalah tulis apa yang sudah dikerjakan,” tuturnya.

Tak heran kalau buku pertama Alo itu menjadi pegangan luas kalangan paramedis di Papua dalam mengambil tindakan. Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Papua Beeri Wopari bahkan menyebutnya sebagai ”kitab suci” bagi praktisi kesehatan di provinsi tersebut.

”Sebab, berisi fakta yang ada di lapangan dan memberikan solusi,” jelasnya.

Setelah buku pertama cukup memberikan dampak dalam pelayanan bagi kesehatan di Papua, Alo dan rekan-rekannya pun meng­inisiatori sebuah kelompok: Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP). ”Ini semacam ‘DPR’-nya kesehatan Papua. Memperjuangkan hak rakyat,” tuturnya.

Pemahaman mendalam tentang kondisi kesehatan di Papua terbangun karena Alo benar-benar memulai karir dari bawah. Dimulai dengan menjadi staf puskesmas pada 2002 sampai kini dipercaya memimpin Dinas Kesehatan Papua.

Dari pengalaman itu, Alo tahu beragam persoalan klasik yang menghadang peningkatan kondisi kesehatan di provinsi di ujung timur Indonesia tersebut. Mulai tantangan geografis, kultur sosial, sampai kemampuan ekonomi.

Apalagi, Alo juga merasakan sendiri kepedihan karena kehilangan saudara-saudaranya. Dari delapan bersaudara dengan Alo sebagai bungsu, hanya tiga orang yang masih tersisa sekarang. Lainnya meninggal karena penyakit ”khas” Papua: kolera dan malaria.

Tinggalkan Balasan