Anggapan perempuan itu kembali ke Tiga Ur; Dapur, Kasur dan Sumur ini sama saja perempuan ruang geraknya dibatasi. Netty menerangkan, jika perempuan tidak pintar, bagaimana dia mengurus keluarga dan memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Seorang perempuan, apalagi ibu harus cerdas dan pintar. Supaya bisa mengurus keluarga dengan baik dan menciptakan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang baik juga.
’’Silahkan perempuan berkontribusi terhadap pembangunan dengan memiliki profesi yang beraneka ragam. Tapi, yang paling utama bagaimana memberikan pendidikan dan pembinaan terhadap anak dalam keluarga,” ujar dia.
Sementara itu, menilik pada semangat emansipasi, tak ada salahnya jika kita menengok sejenak eksistensi Kartini-Kartini masa kini. Di Indonesia, meski jumlahnya belum setara dengan laki-laki, perempuan telah banyak mengukir prestasi. Beberapa diantanya bahkan telah mecapai posisi puncak di bidang yang dominan kaum pria. Uniknya, meski telah mengukir prestasi, Kartini-Kartini era baru ini tetap tak melupakan tugas utamanya sebagai perempuan.
Pakar Etika Mien Uno mengatakan, peran perempuan dalam keluarga sangat fleksibel. Menurut dia, Kartini masa kini adalah perempuan dengan delapan tangan. Artinya, memegang delapan poin. Di antaranya, proteksi, moral, memerhatikan edukasi, peduli pada kecantikan, mampu berkomunikasi, punya visi, merawat anak-anak, dan memerhatikan kesehatan.
’’Untuk mampu melakukannya, perempuan perlu meningkatkan wawasan, juga percaya diri menampilkan pribadinya,” kata dia kepada Bandung Ekspres beberapa waktu lalu.
Selain itu, kesadaran akan pendidikan dan informasi juga memberi peranan penting. Apalagi, kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan telah terbuka lebar. ’’Hal ini semakin memberi kesempatan kepada banyak perempuan untuk berkarir di dunia luar. Tentu saja, dengan tidak menanggalkan tugas sebagai seorang perempuan juga seorang ibu,” cetus dia.
Habis Gelap Terbitlah Terang, begitu ungkap R.A Kartini dalam salah satu suratnya. Kalimat itu tentu bukan sekedar jargon. Tapi lebih seperti mantra. Agar siapapun yang membaca karyanya, terinspirasi untuk turut berkarya. Karena dengan karya, tidak akan ada lagi kaum yang diremehkan. Apalagi dipandang rendah seperti era R.A Kartini dulu.