Parah, Pengangguran Tembus 7,56 Juta Orang

[tie_list type=”minus”]Para Petani Bergeser ke Industri [/tie_list]

bandungekspres.co.id– Perlambatan ekonomi global dan juga domestik mulai berdampak bagi sektor industri padat karya. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun terus terjadi, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Agustus 2015, terdapat 7,56 juta orang yang menganggur. Angka pengangguran tersebut meningkat sebanyak 0,24 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
”Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ini memang terus meningkat. Pada Agustus 2014 TPT-nya 5,94 persen, Agustus ini sudah mencapai 6,18 persen. Jadi jumlah orang yang menganggur itu bertambah sebanyak 320 ribu orang, dibanding periode Agustus tahun lalu,” papar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Kecuk Suhariyanto di Gedung BPS, kemarin (5/10).
Kecuk melanjutkan, selama setahun terakhir, kenaikan penyerapan tenaga kerja terutama di sektor konstruksi yang mencapai 930 ribu orang, kemudian sektor perdagangan sebanyak 850 ribu orang dan sektor keuangan sebanyak 240 ribu orang. Menurut dia, terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.
”Tapi karena lemahnya daya serap tenaga kerja di sektor industri, pergeseran sektor tersebut menjadi penyebab tingginya angka pengangguran,” katanya.
Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS Razali Ritonga mengamini pernyataan Kecuk. Dia menekankan, pertambahan pengangguran tersebut dipicu meningkatnya jumlah angkatan kerja, namun daya serap tenaga kerja dari sejumlah industri justru menurun. Akhirnya terjadi PHK.
”Ya memang ada PHK dan daya serap yang agak menurun, sehingga pengangguarn agak meningkat. Jadi ada new entry yang pencari kerja baru tidak terserap ditambah sebagian ada PHK, sehingga ada mismatched,” papar Razali di Gedung BPS, kemarin.
Razali menuturkan, sektor industri yang paling banyak terpukul akibat gejolak ekonomi global ini adalah industri yang bergantung pada impor, khususnya bahan baku. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, beban biaya produksi pun makin bertambah. Mereka pun memutuskan melakukan penghematan ongkos produksi.
”Salah satu caranya dengan mengurangi tenaga kerja. Jadi memang kebanyakan (industri) yang bergantung dengan impor, nilai tukar naik, yang impor rugi, yang ekspor untung,” paparnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan