JABAR EKSPRES – Keberadaan transportasi umum Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang bernama Whoosh, saat ini tengah menjadi sorotan dan perbincangan publik.
Pasalnya, banyak pihak yang mengaku telah dari dulu memprakirakan, jika mega proyek tersebut akan menimbulkan permasalahan.
Proyek yang awalnya dijanjikan murni business to business, sempat meminta diselamatkan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN).
Baca Juga:Polemik Utang Whoosh hingga Adanya Pembengkakan Biaya, Komisi V DPR: Harus Dikaji Ulang!Menggangu Operasional Kereta, KCIC Bongkar Bangunan Ilegal di Jalur Whoosh Wilayah Padalarang
Kehadiran Whoosh dinilai sejumlah pihak sebagai proyek ambisius, untuk menciptakan kereta cepat bagi bangsa Indonesia, dengan rute dari Kota Jakarta ke Kota Bandung.
Pemerhati Transportasi, Muhamad Akbar mengatakan, lahirnya Whoosh menandai babak baru dalam sejarah transportasi di Indonesia.
“Lintasan 142 kilometer itu memangkas waktu tempuh menjadi 45 menit, dengan kecepatan hingga 350 kilometer per jam. Sebuah lompatan teknologi yang patut dibanggakan,” katanya kepada Jabar Ekspres, Selasa (28/10).
Kendati demikian, Akbar menilai, di balik prestise nasional tersebut, terselip pertanyaan mendasar, menurutnya bisakah kecepatan tinggi Whoosh, berujung pada sesuatu yang lebih penting dan keberlanjutan.
“Tak sekadar soal ketangguhan teknologi, melainkan juga manfaat ekonomi dan jangkauan sosialnya bagi masyarakat,” bebernya.
Sebab, ujar Akbar, infrastruktur kelas dunia hanya bermakna apabila benar-benar terhubung dengan kebutuhan yang sesungguhnya dibutuhkan warganya.
Diketahui, proyek pembangunan KCJB yang dimulai pada Januari 2016 itu, tercatat mulai beroperasi secara komersial pada Oktober 2023 lalu.
Baca Juga:Ratusan Perjalanan Kereta Cepat Terganggu Akibat Teror Layang-layang di Jalur WhooshSambut Libur Sekolah, Whoosh Rute Pendek Hanya Rp75 Ribu!
Setelah rampung dan dua tahun beroperasi, persoalan pun muncul, di antaranya PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mengklaim terus mengalami kerugian triliunan rupiah.
Oleh karenanya, kerugian tersebut jadi beban keuangan BUMN-BUMN Indonesia yang jadi pemegang saham mayoritas.
Kerugian ini terjadi karena KCIC harus menanggung beban utang, selama proses pembangunan hingga lahirnya sang kereta cepat ini.
“Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, sejak awal kehadiran Whoosh lebih mencerminkan ambisi simbolik ketimbang kebutuhan mobilitas yang mendesak,” ujarnya.
Akbar menerangkan, Whoosh muncul bukan karena adanya krisis transportasi Jakarta-Bandung, melainkan dari dorongan untuk membuktikan bahwa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa maju pemilik kereta cepat.
“Pencapaian teknologinya memang patut diapresiasi,” terangnya.
Namun, Akbar menyampaikan, tanpa pemahaman utuh tentang kebiasaan bepergian masyarakat, kecepatan fantastis kereta cepat Whoosh, justru berpotensi sia-sia.
