Menarik Garis di Braga, Mereka yang Serukan Keadilan Iklim

Menarik Garis di Braga, Mereka yang Serukan Keadilan Iklim
Aktivis dari berbagai komunitas lingkungan menampilkan teatrikal saat aksi Draw The Line di kawasan Braga, Kota Bandung, baru-baru ini. Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Bukan hanya wisatawan yang memenuhi ruas jalan ikonik itu, tapi juga barisan panjang orang-orang berpakaian gelap. Hal itu tampak pada Minggu (21/9) kemarin, mereka dengan bertelanjang kaki, berdiri diam sambil membawa poster dan spanduk. Serukan keadilan iklim.

Aksi yang mereka sebut grounding in the line itu menjadi bagian dari rangkaian ‘Draw The Line Bandung Raya: Seni dan Suara Rakyat untuk Keadilan Iklim’.

Bandung menjadi salah satu titik aksi global yang digelar serentak di berbagai negara pada akhir pekan puncak Climate Week, pada 19 sampai 21 September 2025.

Baca Juga:Diklaim Memiliki Dampak Serius, Humas Bandung Zoo Beberkan Soal Penutupan Sementara ASN Kabupaten Bandung Jalani Pelatihan, Persiapan Realisasi 57 Rencana Aksi Daerah?

Menurut Farrel Raihan Gunawan (23), dari Extinction Rebellion Bandung (XR), aksi ini terdiri dari tiga babak. Barisan hening di Braga, teatrikal jalanan, dan mimbar bebas di Gedung Merdeka.

“Kami menarik garis, bahwa kerusakan lingkungan dan permasalahan iklim cukup sampai sini,” ujarnya.

Para peserta datang dengan pakaian serba hitam atau abu-abu tua. Beberapa mengenakan kain batik, sementara banyak yang melepas alas kaki. Farrel menyebut pilihan itu bukan kebetulan.

Menurutnya, kaki telanjang adalah simbol kedekatan dengan bumi tanpa sekat, sementara kain batik menjadi pengingat bahwa pengetahuan tradisional telah lebih dulu mengatur hubungan manusia dengan alam sebelum sains modern berkembang.

Pakaian gelap juga dimaknai sebagai tanda berkabung. “Kami berduka, baik terhadap kondisi kemanusiaan di Palestina, maupun terhadap krisis iklim yang menimpa warga di sekitar PLTU dan wilayah lainnya,” kata Farrel.

Penampilan berikutnya di Plaza Braga mengangkat isu Palestina. Dari sana, peserta bergerak menuju Gedung Merdeka. Bagi mereka, gedung bersejarah itu menjadi simbol penting.

“Kalau tahun 1955 narasinya melawan kolonialisme barat, hari ini yang kami lawan adalah kolonialisme karbon,” ujar Farrel.

Baca Juga:Mendikdasmen Tegaskan MBG Tetap Berlanjut Meski Banyak Kasus Keracunan Massal, Ini Program Prioritas Presiden!5.859 Honorer Bandung Barat Diangkat Jadi PPPK Paruh Waktu

Dalam barisan, empat payung ungu terbentang. Masing-masing melambangkan empat tuntutan, diantaranya penghentian pendanaan energi fosil, penghentian perampasan ruang hidup, perlindungan terhadap demokrasi, dan solidaritas untuk Palestina.

Pemilihan warna ungu juga mengandung pesan. Farrel menjelaskan, warna itu dipilih karena jarang digunakan sebagai simbol perlawanan. Ia berharap, payung ungu menandai babak baru perjuangan iklim.

0 Komentar