JABAR EKSPRES – Kasus pembunuhan satu keluarga yang terjadi di Indramayu belum lama ini mengguncang publik. Lima nyawa melayang dalam satu kejadian memilukan, dan masyarakat pun bertanya-tanya: apa yang bisa membuat seseorang begitu tega terhadap orang-orang terdekatnya sendiri.
Berbagai spekulasi bermunculan, dari dendam pribadi hingga tekanan ekonomi. Namun, dari sudut pandang psikologi, perilaku ekstrem seperti ini tidak pernah terjadi karena satu faktor saja.
Menurut Tim Psikolog PT Martasandy Psychology Indonesia, Aulia Ainunniswah, motif psikologis di balik tindakan pembunuhan terhadap satu keluarga tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Ia menjelaskan bahwa ada berbagai kemungkinan latar belakang psikologis yang memengaruhi pelaku.
Baca Juga:Wagub Jateng Lepas Penerbangan Perdana Semarang-Kuala Lumpur, Masyarakat Sambut AntusiasPemprov Jateng Ringankan Beban Warga, Pangan Murah Diserbu Ribuan Masyarakat
“Beberapa motif psikologis bisa melibatkan gangguan mental seperti skizofrenia atau kondisi psikopat, tapi tidak selalu. Dalam banyak kasus, pelaku merasa tidak punya jalan keluar lagi merasa terjebak dan putus asa,” jelas Aulia.
Ia menambahkan bahwa dalam kondisi tertentu, pelaku bisa mengalami distorsi dalam pola pikir, di mana tindakan kejam justru dirasionalisasi sebagai sesuatu yang ‘benar’, ‘perlu’, atau bahkan ‘adil’. Rasa dikhianati, dipermalukan, atau dilukai secara emosional yang dalam juga bisa memicu keinginan untuk ‘menghukum’ orang-orang terdekat.
Di sisi lain, Psikolog sekaligus Direktur PT Martasandy Psychology Indonesia, Billy Martasandy Ph.d menambahkan bahwa gangguan jiwa bukan satu-satunya penjelasan, dan bahkan dalam banyak kasus, pelaku tidak pernah terdiagnosis memiliki masalah kejiwaan sebelumnya.
“Ada kemungkinan besar bahwa ini hasil akumulasi berbagai tekanan: konflik keluarga yang menumpuk, tekanan ekonomi berat, pengalaman masa lalu yang keras, hingga kurangnya kemampuan mengelola emosi,” ungkap Billy. Keduanya sepakat bahwa lingkungan sosial dan ekonomi turut memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan kecenderungan perilaku seseorang. Dalam banyak kasus kekerasan, pelaku pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan sebelumnya baik dalam keluarga maupun di lingkungan sekitar.
“Orang yang tumbuh dalam lingkungan keras cenderung menganggap kekerasan sebagai solusi. Jika sejak kecil mereka melihat pertengkaran, pelecehan, atau kekerasan fisik, maka batas-batas moral mereka bisa berubah,” kata Aulia.
