BANDUNG – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) yang menetapkan rombongan belajar atau rombel 50 siswa per kelas untuk SMA/SMK negeri pada tahun ajaran 2025/2026 memicu kegaduhan di kalangan pelaku pendidikan. Diteken melalui Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025, kebijakan ini dinilai ugal-ugalan, lahir tanpa kajian mendalam, dan berpotensi merusak ekosistem pendidikan di Jawa Barat.
Berbagai pihak, mulai dari guru, kepala sekolah, hingga pakar pendidikan, mengecam kebijakan ini karena melanggar regulasi, mengancam kualitas pendidikan, dan merugikan sekolah swasta. Kebijakan ini secara terang-terangan dinilai melanggar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 47 Tahun 2023, yang membatasi rombel maksimal 36 siswa untuk jenjang pendidikan menengah.
Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jabar, Saepuloh, menegaskan bahwa sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dirancang untuk menolak input siswa di atas angka tersebut. Akibatnya, 14 siswa per rombel berisiko tidak terdaftar, kehilangan nomor induk siswa, dan terhambat mengikuti ujian nasional. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan ancaman nyata terhadap hak pendidikan ribuan anak,” tegas Saepuloh kepada Jabar Ekspres, Sabtu (19/7).
Baca Juga:ITB dan Seni Tani Perkenalkan Sistem Banana Circle bagi Warga PadasukaMatikan Sekolah Swasta, Persatuan Guru NU Jabar Kecam Kebijakan 50 Siswa per Rombel
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini mencerminkan kurangnya koordinasi dengan pemangku kepentingan pendidikan, sehingga berpotensi menciptakan kekacauan administratif di sekolah-sekolah negeri. Dari sisi kualitas pendidikan, rombel 50 siswa dinilai kontraproduktif. Kelas yang terlalu padat menyulitkan guru memberikan perhatian optimal kepada setiap siswa, terutama dengan penerapan Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran interaktif dan personal.
Infrastruktur sekolah negeri, khususnya di Kota Bandung, jauh dari memadai untuk menampung jumlah siswa sebanyak itu. Banyak sekolah kekurangan ruang kelas, meja, dan kursi, sementara ruang kelas yang pengap meningkatkan risiko kesehatan, seperti penyebaran penyakit, serta potensi konflik antar-siswa akibat lingkungan yang penuh sesak.
“Kelas dengan 50 siswa tidak mungkin mendukung pembelajaran efektif. Guru akan kewalahan, dan siswa tidak mendapat perhatian yang layak,” ungkap seorang kepala sekolah SMA negeri di Bandung yang enggan disebut namanya.
Kebijakan ini juga berdampak buruk pada sekolah swasta. Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, menyebut kebijakan KDM lahir dari perencanaan yang buruk dan bersifat sepihak. “Kebijakan ini mengguncang dunia pendidikan. Fasilitas dan tenaga pengajar tidak siap. Pemerintah harus mengevaluasi ulang dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” ujarnya kepada Jabar Ekspres.
