JABAR EKSPRES – Proyek hilirisasi nikel telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang sangat besar di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di pulau-pulau timur. Proyek unggulan pemerintah dengan nilai investasi mencapai ratusan triliun rupiah ini telah mengubah lanskap alam di Sulawesi, Maluku, dan kini mulai mengancam wilayah Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Korporasi pertambangan mulai menyasar pulau-pulau kecil di Kabupaten Raja Ampat, wilayah yang seharusnya dilindungi dan tidak boleh ditambang. Masyarakat adat pun mengobarkan aksi-aksi penolakan sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspansi industri nikel yang dikhawatirkan akan merusak alam dan ekosistem lingkungan yang selama ini mereka jaga.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di Raja Ampat? Perusahaan mana saja yang terlibat? Dan apakah perlawanan masyarakat ini akan membuahkan hasil?
Baca Juga:Pilihan 7 HP Samsung Termurah 2025 dengan Spesifikasi Mantap dan Harga Ramah di KantongReview Oppo A5i Indonesia Ponsel Rp1 Jutaan dengan Sertifikasi Militer
Kronologi Skandal Tambang Nikel Raja Ampat
Papua diketahui memiliki potensi cadangan nikel sekitar 60 juta ton, angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan Sulawesi dan Maluku. Namun demikian, Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat Daya telah menjadi sasaran aktivitas pertambangan nikel selama bertahun-tahun.
Padahal, Raja Ampat dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bahari terbaik di dunia dan telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Kawasan ini terdiri dari sekitar 610 pulau kecil serta perairan yang menjadi habitat bagi ribuan spesies ikan dan terumbu karang. Survei dari The Nature Conservancy dan Conservation International menyebutkan bahwa 75% spesies laut dunia hidup di perairan Raja Ampat.
Ironisnya, data dari berbagai organisasi pemerhati lingkungan menunjukkan bahwa sejumlah pulau kecil di Raja Ampat telah diberikan izin usaha pertambangan nikel. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua, terdapat empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang telah diterbitkan di wilayah Raja Ampat, yakni di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Ketiga pulau tersebut tergolong sebagai pulau-pulau kecil yang seharusnya tidak boleh ditambang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, adalah PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Rayomond Perkasa. Total konsesi dari keempat perusahaan ini mencapai sekitar 21.000 hektare.